HUKUM PIDANA
KEBIJAKAN HUKUM (LEGAL
POLICY)
DI BIDANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP DI INDONESIA
Disusun
Oleh :
Abi Habudin
11700091
FAKULTAS ILMU HUKUM
UNIVERSITAS BOROBUDUR JAKARTA
KEBIJAKAN
HUKUM (LEGAL POLICY)
DI BIDANG
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA
Untuk memahami sejauhmana
komitmen suatu negara dalam mengatur pengelolaan lingkungan hidup dapat dilihat
dari kebijakan hukum lingkungan yang dihasilkan. Berbagai sifat dan corak
kebijakan hukum lingkungan yang pernah dan sedang belaku di Indonesia
menggambarkan bahwa adanya potret suram yang mengarah ke cerah. Hal ini
dapat dimengerti karena pada awal negara kita membangun yang menjadi prioritas
adalah bagaimana memanfaatkan sumber daya alam semaksimal mungkin
(eksploitatif) dan mengundang investasi sebanyak mungkin. Oleh karena itu corak
kebijakan hukum lingkungannya cenderung bersifat insidental, parsial, sektoral,
dan jalan pintas. Diharapkan ke depan akan dibangun corak kebijakan hukum
lingkungan yanglebih berisfat komprehensif, kohesif dan konsisten.
Pengertian Kebijakan Hukum Lingkungan dan Masalahnya
Hukum
seharusnya mempunyai kedudukan dan arti penting dalam pemecahan masalah
lingkungan dan berfungsi sebagai dasar yuridis bagi pelaksanaan kebijakan
negara/pemerintah dalam mengelola lingkungan hidup 1. Jika Kebijakan lingkungan
kemudian dirumuskan dalam rangkaian norma yang tertuang dalam peraturan
perundang-undangan lingkungan, maka dalam arti sempit dapat disebut sebagai kebijakan
hukum lingkungan atau sering pula disebut politik perundang-undangan di
bidang lingkungan hidup.2
Timbul pertanyaan apakah yang dimaksud dengan kebijakan hukum lingkungan itu?
Yang
dimaksud dengan kebijakan hukum lingkungan dalam arti sempit adalah penentuan
konsep, proses, strategi, dan siasat yang terumuskan secara sistematis
berkenaan dengan rencana, program, proyek, dan kegiatan pemerintah dan
masyarakat sebagai sarana pencapaian tujuan pengelolaan lingkungan hidup
melalui pendayagunaan peraturan perundang-undangan beserta kelembagaannya.Pertanyaan
lanjutannnya adalah kebijakan hukum yang bagaimanakah yang secara sistemik dan
efektif berpotensi mewujudkan tujuan kebijakan lingkungan? Mengapa dalam
faktanya malah justru peraturan perundang-undangan tidak sedikit memberikan
kontribusi yang cukup siginifikan dalam hal terjadinya masalah
lingkungan?
Pemikiran
yang didukung oleh hasil penelitian dan pengkajian mengungkapkan bahwa salah
satu faktor yang mempengaruhi buruknya pengaturan pengelolaan lingkugan hidup
di Indonesia adalah karena kebijakan peraturan perundang-undangan yang sengaja
didesain (atau mungkin juga karena “kelalaian”) untuk tidak cukup efektif
mencegah dan menyelesaikan masalah lingkungan. Kelemahan ini dapat dilihat dari
beberapa peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang cenderung bersifat
pragmatis, reaktif, sektoral, parsial dan berjangka pendek, seperti ketidaklengkapan
penggunaan fungsi manajemen lingkungan, belum terurai dengan utuh penormaan
prinsip-prinsip pembangunan keberlanjutan, pengaturan kelembagaan yang sangat
parsial, pasal perizinan yang sumir, norma pengawasan yang tidak jelas, belum
lengkapnya pengaturan tentang hak-hak prosedural masyarakat, belum
didayagunakan pengaturan berkenaan dengan persyaratan penaatan, instrumen
ekonomi, rumusan sanksi administrasi dan pidana yang tidak implementatif, dsb.
Dengan demikian, tidak sedikit terjadi disharmoni antara peraturan
perundang-undangan lingkungan hidup dengan perundang-undangan sektor, yakni
berupa konflik, kontradiksi, tumpang tindih, gap, dan inkonsistensi.
Adapun
titik lemah dari keberadaan UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPLH) adalah tidak cukup mampu menempatkan dirinya sebagai UU yang menjadi
landasan untuk menilai dan menyesuaikan (atau dengan perkataan lain sebagai
undang-undang yang berfungsi “payung”) terhadap UU “Sektor”. Bahkan UU “sektor”
ini dalam tataran pelaksanaanya justru lebih dominan dan malah terkesan
mengenyampingkan keberlakuan UUPLH.
Isu lainnya adalah bahwa
berkaitan dengan perkembangan pemikiran dan konsep pengelolaan lingkungan yang
terjadi di dunia internasional, maka komitmen global Indonesia perlu pula
menjadi perhatian dalam mengisi substansi perundang-undangan lingkungan hidup,
misalnya perlu dimuatnya prinsip-prinsip Pengelolaan Lingkungan yang Baik (Good
Environmental Governance) dan Penglolaan Pembanguan Berkelanjutan yang Baik
(Good Sustainable Devlopment Governance) secara utuh dan rinci, seperti
adanya:
- Intergenerational equity;
- Intragenerational equity;
- The precautionary principle;
- The internalization of externality;
- Pollution Prevention;
- Polluter Pays Principle;
- Strict Liability and Absolute Liability;
- Shifting of burden of proof;
- Transboundary Principle;
- Extraterritoriality Principle.
Asas-asas kebijakan lingkungan (principles
of environmental policy) yaitu antara lain:
- abatement at the source;
- best practicable means/best technical means;
- stand still principle;
- principle of regional differentiation;
Prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan tersebut merupakan suatu “paket” dari pengelolaan
lingkungan yang baik, yang harus termuat dalam kebijakan lingkungan yang
diwujudkan dalam perangkat peraturan perundang-undangan lingkungan hidup.
Harmonisasi dari prinsip sustainable development dan good environment
governance adalah Good Sustainable Development Governance yang
berimplikasi pula pada:
- Dorongan ke arah Corporate Social Responsibility dan Accountability lebih menguat (termasuk tuntutan masyarakat internasional);
- Masyarakat akan lebih terbuka dan demokratis (democratic society and government)
- Kekuatan-kekuatan civil society sebagai kelompok penekan (pressure group) semakin kuat dan efektif;
- Gerakan konsumen hijau semakin meluas seiring dengan berkembangnya pendidikan lingkungan, meningkatnya kesadaran LH terhadap kondisi SDA dan LH yang semakin memburuk;
- Rule of Law semakin terbangun.
Tentunya kondisi tersebut diatas
amat memprihatinkan, karena sesungguhnya pedayagunaan peraturan
perundang-undangan, sebagai sarana yuridis normatif dalam mewadahi dan memberi
landasan kebijakan lingkungan, seharusnya justru memberikan keuntungan,
yaitu antara lain memiliki daya paksa secara lebih rasional dan proporsional,
dapat mengintegrasikan berbagai kebijakan yang “terserak” dalam berbagai
dokumen, dapat memberikan panduan bertindak dalam pola yang ajeg, memudahkan
dalam meminta pertanggungjawaban siapapun yang berbuat melawan kehendak hukum,
dan lebih memberikan kekuatan terhadap legitimasi sosial.
Memang
disadari betapa banyak masalah yang dihadapi dalam pengaturan kebijakan hukum
di bidang lingkungan hidup, hal ini tidak saja merupakan tantangan bagi mereka
yang langsung berkecimpung di bidang Hukum Lingkungan, tetapi merupakan
panggilan tugas dan tanggungjawab bersama para ahli hukum untuk berperanserta
melalui kemampuan ilmunya dalam upaya membangun Hukum Lingkungan nasional
Indonesia di masa datang.
Kebijakan Hukum
Dalam
upaya memahami kebijakan hukum lingkungan di Indonesia secara lebih utuh, maka
kiranya dapat digambarkan bagaimaan potret kebijakan yang pernah dan sedang
berlaku, serta bagaimana sebaiknya sifat dan corak kebijakan hukum itu dibangun
ke depan, sebagai berikut:
1. Sifat
Perangkat Peraturan Perundang-undangan Lingkungan Hidup
a.
Bersifat insidental:
Penyebab
kelahiran suatu peraturan perundangan undangan lingkungan tidak jarang ditandai
oleh sifat reaktif terhadap suatu kejadian/kasus yang bersifat incidental. Sifat
reaktif dari aturan yang sekedar upaya merespon peristiwa lingkungan inilah
acap kali memang hanya “umur” pendek saja dengan penyelesaian yang juga
bersifat ad hoc. Oleh karena terbitnya perundang-undangan ini didasarkan
pada situasi dan kondisi konkret, maka ciri kebijakan hukum lingkungan
ini bersifat insidental. Produk peraturan yang tadinya belum
direncanakan dalam jangka panjang, akhirnya perangkat hukum itu dikeluarkan
karena terdesak oleh keadaan yang segera mungkin harus diatasi dengan perangkat
peraturan.
Misalnya,
lahirnya peraturan dilatarbelakangi oleh adanya suatu wabah penyakit, masalah
kesehatan lingkungan ataupun karena timbulnya pencemaran dimana-mana oleh
industri. Sifat perundang-undangan seperti ini sudah tentu tidak akan luwes dalam
jangka waktu lama (tidak mampu mencakup kebutuhan-kebutuhan perkembangan
zaman), karena wawasan yang ditata hanya mampu menjangkau
kepentingan-kepentingan saat itu.
b. Bersifat komensalis
Kebijakan
dalam membentuk peraturan perundang-undangan tidak selalu ditujukan untuk
mengatur bagaimana agar perlindungan kualitas fungsi daya dukung dan daya
tampung lingkungan tetap tinggi atau setidaknya tidak menurun secara
signifikan. Peraturan yang dibentuk hanya bersifat formalitas, sehingga hanya
merupakan pengaturan lingkungan yang memberikan petunjuk umum secara
garsi besar dan bahkan terkadang parsial.
Adapun
pengaturan tentang pengelolaan lingkungan yang sebenarnya diserahkan kepada
masing-masing perundang-undangan sector-sektor kegiatan, seperti kehutanan,
pertambangan, industri, pekerjaan umum, perumahan. Cara ini tentunya melihat
pengelolaan lingkungan dari kacamata kepentingan sektor yang bersangkutan, pada
umumnya terutama dalam rangka pembangunan ekonomi yang menjadi panglimanya.
Dengan demikian peraturan perundang-undangan lingkungan hanya merupakan minority
regulation yang mendukung perundang-undangan sektor, misalnya pada awal
tahun-tahun awal Orde Baru yang demikian tersbut amat kentara dalam UU
Kehutanan, UU Pertambangan, UU PMA dsb. Jadi kebijakan perundang-undangan ini
bersifat komensalis
c. Bersifat Partial
Ciri-ciri dari suatu kebijakan perundang-undangan di bidang lingkungan
hidup yang bersifat parsial antara lain:
- Masalah lingkungan dilihat hanya sebatas pengaturan isu yang berdiri sendiri-sendiri, seolah tidak ada kaitan dengan isu lainnya, misalnya isu kerusakan hutan dipersepsi sebagai masalah kerusakan pohon/kayu, padahal hal tersebut juga terkait dengan masalah tata air, banjir, longsor, kerusakan situs budaya dsb;
- Cara pengaturannya pun tidak sistematis dan terpadu, lebih terkesan menonjolkan sektornya masing-masing, sehinga terjadi egosektor;
- Tidak terjadi interaksi, interdependensi, interkoneksi dan interrelasi antara satu isu lingkungan dengan isu yang lain, misalnya Peraturan Menteri X, melarang tetapi Peraturan Menteri Y membolehkan.;
- Sulit untuk melihat masalah lingkungan sebagai sebagai suatu yang komprehensif, integrated, dan holistic, mislanya lahirnya Perpu 1/2004 jo UU No. 19/2005 yang membolehkan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung, yang nota bene oleh UU No. 41/1999 tentang Kehutanan adalah dilarang.
d. Bersifat Sektoral atau Departemental
Pada
dasarnya kebijakan perundang-undangan lingkungan yang bersifat sektoral atau
departemental ini hampir serupa dengan yang bersifat parsial sebagaimana
terurai di atas. Ciri inilah yang paling banyak menandai peraturan
perundang-undangan lingkungan kita. Selain dapat dimaklumi bahwa pelaksanaan
praktis dari suatu kegiatan bermuara pada masing-masing departemen atau sektor,
hal itu juga disebabkan karena setiap departemen diberi wewenang teknis untuk
menetapkan peraturan-peraturan dalam kaitan tugasnya masing-masing.
Singkat kata kebijakan sektoral atau departemental ini adalah bercirikan:
- Masalah lingkungan hanya dilihat dari sudut pandang sektor;
- Pengaturan pengelolaan lingkungan diatur oleh masing-masing sektor;
- Apabila tidak ada koordinasi maka sering timbul konflik kewenangan, overlapping, dan tarik menarik kepentingan di antara sektor;
- Berpotensi untuk terjadi disharmoni dan inkonsistensi dalam pengambilan kebijakan di bidang lingkungan.
e. Perangkat Jalan Pintas
Terdapat
suatu kecenderungan dalam praktek, di mana beberapa bentuk regulasi yang
kendati pun secara substansial seharusnya membutuhkan tingkatan regulasi yang
lebih tinggi, katakanlah dengan bentuk UU, tetapi dengan beberapa hal,
kebutuhan tersebut hanya dibuat dalam bentuk di bawah tingkatan UU,
misalnya, berupa Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres),
Peraturan Menteri, dan lain-lain yang tidak perlu melibatkan parlemen (DPR).
Kebijakan
jalan pintas ini secara ringkas bercirikan:
- Pengaturan lingkungan seringkali diterabas oleh produk yang mudah diterbitkan;
- Penyelesaian lingkungan selalu didasarkan pada kesepakatan (joint policy) para pengambil kebijakan misalnya melalui SKB;
- Pengaturan lingkungan lebih pada teknis operasional;
- Pengaturan lingkungan lebih diutamakan pada faktor efektivitas dan efisiensi;
- Produk hukum tidak didasarkan pada pengkajian yang komprehensif dan mendalam.
Cara negatif yang berwujud jalan
pintas ini ditempuh karena adanya faktor-faktor berikut:
·
Adanya kebutuhan akan perangkat hukum yang
mendesak;
·
Menghindari waktu yang berlarut-larut menunggu
peraturan yang lebih tinggi, sehingga ditempuh jalan pintas dengan menggodok
Permen atau Keppres. Cara ini lebih praktis dibandingkan dengan sebuah UU
(dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR), yang sudah tentu memakan proses
yang lama dan membutuhkan banyak biaya;
·
Motivasi sosial politis;
·
Anggaran biaya yang tidak mencukupi untuk
memproduk UU;
·
Faktor kekurangtanggapan para aparat yang
berkompeten.
f.
Bersifat komprehensif, kohesif, dan konsisten
Akhirnya bagaimana suatu
peraturan perundang-undangan lingkungan hidup itu seharusnya dibangun. Secara
teoritis substansi dan rancang bangun perundang-undangan di bidang lingkungan
hidup ini memiliki ciri:
- Komprehensif:
artinya substansi perundang-undangan ini memuat setiap aspek dari
pengelolaan lingkungan antara lain meliputi: inventarisasi, perencanaan,
perlindungan, pencegahan, pemanfaatan, penanggulangan, pemulihan,
pelestarian, konservasi, kelembagaan, partisipasi masyarakat, desentralisasi,
pengawasan, pengendalian, perizinan, sumber daya manusia, standar, baku mutu,
instrumen ekonomi, meninternalisasi komitmen global.
- Kohesif artinya:
senantiasa dikembangkan keterpaduan, keterkaitan, keterlekatan, keterhubungan,
dan ketergantungan antara perundang-undangan lingkungan dengan sektor. Contoh
di Belanda yang mereka sebut sebagai National Environmental Policy Plan (NEPP).
3
Konsisten: bahwa setiap
produk perundang-undangan di bidang lingkungan hidup senantiasa
mengedepankan selain good process, artinya dibentuk dengan
melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) seluas
mungkin secara genuine; juga good norms artinya tepat jenis
perundang-undangannya, dibuat oleh lembaga yang tepat, mampu menjabarkan dengan
jelas (clearly) prisnip-prinsip good environmental governance dan
good sustainable development governance ke dalam norma yang enforceable,
sehingga UUPLH dapat dijadikan atau berfungsi “payung” bagi kegiatan
sektor.
2. Corak Kebijakan Peraturan
Perundang-undangan Lingkungan Hidup
a.
Regulasi
Bersifat Environmental Policy
Menurut
Lawrence E. Susskind (et.al) 4
paling tidak ada 6 aspek karakteristik keberhasilan dalam merumuskan kebijakan
lingkungan, yakni:
- defined a policy problem in a way that was particularly helpful to policy makers;
- described the full range of possible policy respons;
- overcome resistance to change on the part of the relevant regulatory agency;
- provided important opportunities for all stakeholders to participate;
- worked to enhance the legitimacy of the particular actions or changes suggested; and
- helped ensure that adequate resources would be avaible for policy implementation.
Sifat
dari regulasi-regulasi hukum yang semata-mata hanya untuk satuan-satuan
lingkungan/ekosistem, termasuk sistem-sistem kebijakan yang berhubungan dengan
itu, disebut dengan Environmental Policy. Faktor yang ditekankan di sini
adalah diregulasikannya berbagai produk perundang-undangan yang khusus
ditujukan untuk menata sistem lingkungan.
b.
Regulasi
Bersifat Integral Policy
1.
Pengaturan pengelolaan lingkungan hidup tidak
semata-mata ditujukan untuk kepentingan lingkungan saja, melainkan dikaitkan
dengan kepentingan sektoral seperti pariwisata, perindustrian, transmigrasi,
perdagangan, pekerjaan umum, perumahan, transportasi, dan lain-lain.
b. Dalam kebijakan penataan
regulasi ini, sektor non-lingkungan hidup menjadi porsi utama dari tujuan
pembuatan peraturan perundang-undangan, tetapi tetap diperhatikan dan
dirumuskan beberapa pasal ketentuan atas konservasi lingkungan sememadai
mungkin.
Meskipun
demikian, pengeintegrasian kepentingan lingkungan (prinsip pembangunan
berkelanjutan dan perlindungan) kepada kebijakan lingkungan harus tetap
dipersyaratkan adanya koherensi diantar keduanya, sebagimana dinyatakan
oleh Dietr Helm, yang mengingatkan bahwa “taking the environment
seriously ia a necessary but not sufficient step towards an environment policy”,
oleh karena itu lanjutnya “… to provide coherence, the policy requires clear
objectives and targets that derive from it. It also requires an appropriate set
of instruments and a set of institutions capable of implementing it. 5
c.
Regulasi
Bersifat Supporting Policy/Beyond Policy
Persoalan
kebijakan lingkungan nampaknya tidak hanya cukup diselesaikan dari aspek hukum
semata, melainkan juga melingkupi nilai etik dan bahkan hubungan transenden
antara mansuia dengan alamnya. Dalam konteks ini Daniel H. Henning
menggambarkan bahwa “Given the general environmental value placed
harmony between man and nature, it is appropriate to recognize the
complexities, intensities, and varieties of individual interpretations given as
they relate to environmental policy. 6
Regulasi
hukum di semua sektor, sepanjang masih mampu dilibatkan untuk mendorong
ditingkatkannya partisipasi pembinaan lingkungan, disebut dengan supporting
policy atau beyond policy. Sifat ketiga ini lebih diharapkan untuk
mendorong faktor pembinaan lingkungan. Misalnya, mencintai lingkungan dan alam
dapat diajarkan baik melalui intrakurikuler atau ekstrakurikuler di berbagai
sekolah, ditambahkan dan diaktifkannya LSM, digiatkannya swadaya masyarakat
berupa partisipasi-partisipasi sosial, spontanitas masyarakat, kelompok-kelompok
agama, pramuka, pemuda, dan lain-lain motivasi yang digerakkan oleh
keputusan-keputusan departemental.
- Pengaturan lingkungan dilakukan mulai dari membangun budaya hukum masyarakat;
- Pengaturan lingkungan lebih diarahkan pada penaatan sukarela;
- Pengaturan lingkungan lebih menyertakan pada penguatan civil society dan pelaku ekonomi;
- Pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator, fasilitator, dan penegakan hukum.
Dilihat
dari 3 corak kebijakan seperti tergambar dalam skema di atas, nampaklah bahwa
pada prinsipnya semua departemen atau sektor terlibat dan mempunyai sangkut
paut dalam hal penataan legislasi hukum lingkungan. Dengan kata lain, semua
produk kebijakan atas bidang-bidang pemerintahan atau non pemerintah
dikelompokkan melalui ketiga corak legislasi di atas dan satu dengan yang lain
hendaknya harus saling menunjang (sesuai asas KISS).
Penutup
Kalau
kita memiliki kemauan yang sungguh-sungguh untuk membenahi lingkungan, maka
situasi legislasi hukum seperti model-model di atas sudah saatnya ditinjau ulang.
Pola perangkat hukum lingkungan yang dominan bercirikan insidental, komensalis,
partial, sektoral atau departemental atau jalan pintas seperti dibahas
sebelumnya, memberi kesan terhadap suatu keadaan yang belum memiliki kemauan
dan pendirian terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Saatnyalah kini membangun
kebijakan hokum lingkungan yang komprehensif, kohesif, dan konsisten.
Daftra Pustaka
Alan Gilvin, Dictionary
Environment and Sustainable Development, John Wiley & Sons, 1997
Daniel H. Hennings,
Environmantel Plicy and Administration, Elsevier Nort Holland, Second Printing,
1977,
Dieter Helm, Environmental
Policy, Objectives, Instruments, and Implementation, Oxford University
Press, 2000
Environmental Policy in the Netherlands ,
VNONCW, Revised Editon, June 1995
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, dasar-dasar Politik Hukum, Rejawali
Press, Cet 1, 2004
Hikmat Ramdhan, Yusran, Dudung darusman, “Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Otonomi daerah, Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi,Alqaprint Jatonangor,
2003
Lawrrnce E. Susskind, Ravi K.
Jain, Andrew O. Martyniuk, Better Environmental Policy Studies, Island Press,
2001
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
nasional, Air Langga University Press, cet kedua, 2000