Oleh:
Abi habudin
Pendahuluan
Serangkaian dengan diskusi bertema “Sejauh manakah hukum
adat Bali dapat mencegah berbagai konflik sosial yang muncul di masyarakat”, panitia Dies Natalis Universitas Udayana 2008, meminta saya menyajikan
makalah berjudul “Kajian Hukum Adat untuk Mencegah Konflik Sosial di
Masyarakat”. Untuk memudahkan dalam membahas judul di atas dan mengikuti uraian
selanjutnya, pembahasan akan diawali dengan penjelasan beberapa istilah dan
ungkapan, seperti: “hukum adat”, “konflik sosial” dan “masyarakat”.
Dimaksud hukum adat dalam hal ini terbatas pada hukum adat Bali.
Demikian pula halnya dengan masyarakat dalam hal ini maksudnya adalah
masyarakat adat di Bali, yang lebih dikenal dengan desa adat atau desa pakraman. Ada bermacam-macam konflik yang terjadi di desa pakraman, seperti konflik
intern desa pakraman dan konflik antar desa pakraman dengan institusi lain di
luar desa pakraman. Konflik intern desa pakraman yang paling sering terjadi
adalah konflik yang melibatkan desa pakraman dengan warganya (krama desa) yang muncul karena
pelanggaran adat Bali dan norma agama Hindu. Konflik ini lebih dikenal dengan konflik adat. Konflik antar desa pakraman
dengan institusi lain di luar desa pakraman yang sering terjadi adalah konflik
antar desa pekraman bertetangga karena soal batas desa, dan konflik antar desa
pakraman dengan investor. Permasalahan yang akan dikaji dalam makalah singkat
ini adalah bagaimana hukum adat Bali dapat dimanfaatkan untuk mencegah dan
menyelesaikan konflik yang melibatkan desa pakraman dengan warganya maupun
dengan institusi lain di luar desa pakraman.
Konflik di Bali
Desa pakraman sebagai sebuah organisasi sosial religius, memiliki sistem organisasi kemasyarakatan
yang kuat untuk mewujudkan keharmonisan warganya. Hal ini tampak dari struktur organisasinya dan awig-awig desa pakraman, baik tertulis maupun tidak tertulis. Dalam menjaga keharmonisan hubungan sesama
menusia, desa pakraman juga
memiliki sejumlah kearifan lokal atau dalam ungkapan Wales (1948) disebut sebagai local
genius yang dapat menyejukkan suasana, seperti paras-paros
(bersama dalam suka dan duka), jele
melah gelahang bareng (baik dan buruk, hargai sebagai milik bersama), matilesan dewek (tahu diri), dll. Kearifan lokal ini tercermin
dalam kehidupan penduduk Bali, sehingga Bali menjadi terkenal karena
keramahtamahan penduduknya dan keindahan alamnya. Kenyataan inilah yang mungkin
mengilhami Hickman Powell (1930), seorang
wisatawan yang juga penulis Amerika, sehingga memberikan julukan “The
Last Paradise” kepada Pulau Bali. Walaupun demikian, tidak berarti Bali bebas dari
konflik dan kekerasan. Konflik dan kekerasan
muncul ke permukaan karena berbagai faktor penyebab seperti faktor politik,
ekonomi, dan pelanggaran norma agama Hindu serta adat Bali.
Konflik dan kekerasan di Bali, dikenal dengan istilah biota atau wicara. Pelakunya bukan hanya warga desa
pakraman (krama desa), tetapi juga
penduduk Bali. Dengan kata lain, setiap orang yang berada di Bali (baik krama desa, krama tamiu maupun tamiu),
potensial dapat menimbulkan biota di
tanah Bali.
Apabila konflik dan kekerasan itu
muncul karena pelanggaran norma agama Hindu dan adat Bali, dikenal dengan
sebutan “konflik adat”. Konflik adat sebenarnya bukan hal baru, tetapi sudah
terjadi sejak zaman kolonial, berlanjut sampai sekarang dengan berbagai
menifestasi. Sejak tahun 1999 menjadi
semakin marak, karena hembusan ”iklim” reformasi dan otonomi daerah. Penelitian
yang dilakukan selama tujuh tahun terakhir (1999 – 2005), menemukan
112 konflik terjadi di desa pakraman seluruh Bali, seperti tergambar
dalam tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1
Konflik di Desa
Pakraman di Bali
Tahun 1999
– 2005
Kabupaten
|
KAD
|
KDKD
|
KDLL
|
KDP
|
KDKT
|
Jumlah
|
Karangasem
|
5
|
10
|
1
|
1
|
-
|
17
|
Klungkung
|
1
|
4
|
2
|
2
|
-
|
9
|
Bangli
|
1
|
8
|
1
|
-
|
-
|
10
|
Gianyar
|
13
|
18
|
6
|
-
|
2
|
39
|
Badung
|
2
|
6
|
2
|
1
|
-
|
11
|
Kodya
Dps.
|
1
|
1
|
-
|
-
|
-
|
2
|
Tabanan
|
5
|
5
|
-
|
4
|
-
|
14
|
Buleleng
|
4
|
4
|
-
|
-
|
-
|
8
|
Jemberana
|
-
|
1
|
1
|
-
|
-
|
2
|
Jumlah
|
22
|
57
|
13
|
8
|
2
|
112
|
%
|
19,6 %
|
50,9 %
|
11,6 %
|
7,1 %
|
1,8
|
100 %
|
Sumber: Tabel disusun oleh Wayan Windia, berdasarkan
hasil penelitian tentang konflik di Bali, selama tahun 1999-2005.
Keterangan
KAD = Konflik antar
Desa Pakraman
KDKD = Konflik Desa Pakraman dengan
Krama Desa
KDLL = Konflik Desa Pakraman dengan
Lembaga Lain
KDP = Konflik Desa Pakraman dengan
Pemerintah
KDKT = Konflik Desa Pakraman dengan
Krama Tamiu dan Tamiu
Berdasarkan data pada tabel di atas
dapat diketahui bahwa di antara lima kelompok konflik yang terjadi di desa
pakraman selama 1999 – 2005, konflik desa pakraman dengan krama desa (KDKD)
menempati jumlah terbanyak, yaitu 57 kasus (50,9 %). Disusul kemudian KAD sebanyak 22 kasus (19,6 %), KDLL 18 kasus
(11,6 %), KDP 8 kasus (7,1 %) dan KDKT
hanya 2 kasus (1,8 %). Apabila konflik desa pakramaan dengan krama desa (KDKD) yang pernah terjadi
dikaitkan dengan kabupaten dan kota yang ada di Bali, tampak Kabupaten Gianyar
menempati urutan terbanyak (18 konflik) dan disusul kemudian Kabupaten
Karangasem (10 kasus), sementara yang paling sedikit adalah Kabupaten Jemberana dan Kota Denpasar masing-masing hanya satu
kasus.
Tingginya angka konflik di Kabupaten Gianyar karena perbedaan penghargaan
dan ikatan desa pakraman terhadap krama desa dalam hubungannya dengan aktivitas
sosial dan keagamaan. Penghargaan dan ikatan desa pakraman di Kabupaten Gianyar terhadap krama desa relatif lebih tinggi dan
lebih ketat dibandingkan dengan penghargaan dan ikatan desa pakraman terhadap krama desa yang
ada di kabupaten yang lainnya. Oleh
karena itu, perbuatan tertentu yang oleh desa pakraman di Kabupaten Gianyar
dikatagorikan sebagai pelanggaran yang patut dikenakan sanksi adat oleh desa
pakraman dan cendrung menimbulkan konflik dengan krama desa, di kabupaten
lainnya, seperti Denpasar dan Jembrana, justru dianggap sebagai perbuatan biasa
dan tidak dikatagorikan sebagai palanggaran.
Tidak semua konflik yang terjadi di desa adat dapat disebut konflik adat.
Perbedaan konflik adat dengan konflik lain yang bukan konflik adat, dapat
diketahui dari faktor
penyebab dan proses penyelesaiannya. Konflik adat muncul karena
ada pelanggaran adat sehingga
menyebabkan kedamaian di desa adat
terganggu. Dalam ungkapan Ter
Haar (1991:226) disebut “keguncangan neraca keseimbangan masyarakat”. Dengan
maksud mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat sebagai akibat adanya pelanggaran adat tersebut, pelaku pelanggaran adat dikenakan sanksi adat oleh desa pakraman yang merasa
“terguncang neraca keseimbangannya”. Berdasarkan hal tersebut, 57 (50,9%)
konflik yang terjadi di desa adat dapat digolongkan konflik adat.
Sanksi yang dikenakan
mulai dari yang paling ringan, seperti pamiteket
(peringatan), sampai yang terberat
berupa kasepekang (diberhentikan dan
dikucilkan) dari pergaulan di desa
pakraman. Di antara 57 konflik yang
melibatkan desa pakraman dengan krama desa yang terjadi di Bali, sebanyak 24 di
antaranya merupakan konflik adat yang berakhir dengan pengenaan sanksi adat kasepekang. Jumlah konflik adat dengan
sanksi kasepekang yang terjadi pada
masing-masing kabupaten dan kota di Bali, tergambar dalam tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2
Konflik Desa Adat dengan
Krama Desa dan
Sanksi Adat Kesepekang di Bali, 1999 – 2005
No
|
Kabupaten
|
Konflik Desa Pakraman dengan Krama Desa
|
Konflik disertai Sanksi Adat Kasepekang
|
%
|
1
|
Karangasem
|
10
|
4
|
40 %
|
2
|
Klungkung
|
4
|
2
|
50 %
|
3
|
Bangli
|
8
|
3
|
37 %
|
4
|
Gianyar
|
18
|
7
|
39 %
|
5
|
Badung
|
6
|
3
|
50 %
|
6
|
Kodya
Dps.
|
1
|
-
|
0 %
|
7
|
Tabanan
|
5
|
2
|
40 %
|
8
|
Buleleng
|
4
|
3
|
75 %
|
9
|
Jemberana
|
1
|
-
|
0 %
|
Jumlah
|
57
|
24
|
42%
|
Sumber: Tabel disusun oleh Wayan Windia, berdasarkan
hasil penelitian tentang konflik di Bali, selama tahun 1999-2006.
Berdasarkan data pada
tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa hampir di semua kabupaten di Bali, pernah
terjadi konflik yang melibatkan desa
pakraman dengan krama desa. Demikian
pula halnya dengan penjatuhan sanksi adat kasepekang.
Konflik adat paling banyak terjadi di Kabupaten Gianyar, sementara konflik yang
paling sedikit terjadi di Kabupaten Jemberana dan Kodya Denpasar, masing-masing
hanya 1 kasus. Pada kabupaten-kabupaten di mana terjadi banyak konflik antar
desa pakraman dengan krama desa, di
sana terdapat penjatuhan sanksi adat kasepekang
yang lebih banyak juga. Jumlah konflik antar desa pakraman dengan krama desa terbanyak di Bali, terjadi di
Kabupaten Gianyar (18 kasus). Penjatuhan sanksi adat kasepekang yang terbanyak juga terjadi di Kabupaten Gianyar (7
kasus kasus). Sementara di Kabupaten Jemberana dan Kondya Denpasar, tidak
pernah terjadi konflik adat yang mengakibatkan dikenakannya sanksi adat kasepekang.
Faktor Penyebab Konflik
Berdasarkan hasil
penelitian atas konflik yang terjadi di Desa Adat Bungaya, Kabupaten
Karangasem, dapat diketahui ada empat faktor penyebab munculnya konflik yaitu: faktor pelanggaran adat, faktor ekonomi,
faktor politik, dan faktor perbedaan persepsi mengenai status
kasta. Di antara empat faktor
tersebut, dua di antaranya mudah dikenali, yaitu faktor pelanggaran adat dan
perbedaan persepsi mengenai status kasta, sedangkan faktor ekonomi dan faktor
politik tidak tampak seperti halnya dua faktor lainnya. Walaupun demikian,
kepentingan yang didasarkan atas pertimbangan untung rugi secara ekonomi
serta perebutan pengaruh dan kekuasaan
di desa adat, senantiasa dapat dijumpai
dalam setiap konflik adat dan pengenaan sanksi kasepekang. Ini yang menyebabkan konflik di desa pakraman menjadi
semakin kompleks menggurita dan sulit dimengerti kecuali oleh orang yang secara
berkelanjutan menekuni bidang ini.
Hal lain yang juga
berpotensi dapat disebut sebagai faktor penyebab munculnya konflik di desa
pakraman adalah: Pertama, warga desa
(krama desa) belum memiliki persepsi
yang sama mengenai tujuan (patitis)
desa pakraman. Akibatnya, upacara agama yang dilaksanakan sering melampaui
kemampuan desa pakraman penyelenggara, terutama dalam hubungan dengan dana dan
tenaga yang diperlukan. Kedua, sebagian besar institusi di luar desa pakraman,
belum sepenuhnya memahami tugas pokok dan fungsi (tupoksi) desa pakraman.
Sebagai organisasi sosial
religius, desa pakraman dibangun untuk menciptakan kedamaian (kasukertan) desa. Maka dari itu, segala
program kerja yang disusun oleh perangkat pimpinan (prajuru) desa, awig-awig dan sanksi adat yang dibuat, dan upacara
agama yang dilaksanakan di Pura Kayangan Tiga atau Kayangan Desa, sepatutnya
diformat sedemikian rupa, sehingga dapat menciptakan kedamaian desa. Kalau ada
program kerja, awig-awig, dan upacara agama yang melampaui kondisi ekonomi,
sehingga menimbulkan permasalahan bagi warga desa pakraman, patut ditinjau dan
disesuaikan dengan tujuan (patitis)
yang ingin dicapai yaitu kedamaian (kasukertan) desa. Apabila tidak demikian
adanya, lama kelamaan warga desa dapat berubah bentuk menjadi “katak” dan desa
pakraman akan menjadi “tempurungnya”.
Disisi lain, sebagian
besar institusi di luar desa pakraman, belum sepenuhnya memahami tugas pokok
dan fungsi (tupoksi) desa pakraman. Akibatnya, mereka cendrung menganggap desa
pakraman penghambat kemajuan. Atas nama kemajuan, lalu mereka datang ke desa.
Maksud hati menjadi motivator atau investor, yang muncul justru provokator.
Implikasinya, konflik di desa pakraman menjadi semakin kompleks menggurita.
Pertanyaanya, bagaimana hukum adat Bali dapat dimanfaatkan untuk mencegah dan
menyelesaikan konflik yang melibatkan desa pakraman dengan warganya maupun
dengan institusi lain di luar desa pakraman?
Mencegah dan
Menyelesaikan Konflik di Desa Pakraman
Mencegah Konflik
Untuk mencegah munculnya konflik di
desa pakraman, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebagai berikut. Pertama,
sanksi adat yang telah terbukti menjadi sorotan berbagai pihak karena dianggap
tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan hak azasi manusia (HAM) seperti sanksi adat kasepekang, sebaiknya ditinggalkan dan diganti dengan jenis sanksi
lainnya yang lebih menjamin tercapainya tujuan pengenaan sanksi adat,
yaitu mengembalikan keseimbangan dalam
masyarakat dan menciptakan kasukertan
sekala niskala (kedamaian lahir batin). Kedua, prajuru desa perlu
mengadakan perubahan orientasi dalam menegakkan hukum adat (awig-awig desa).
Penegakan awig-awig tidak lagi harus bersikukuh pada interpretasi teks,
melainkan lebih berorientasi pada konteks ruang dan waktu serta manfaat yang
didapat. Dalam hubungan dengan usaha menciptakan kasukertan (kedamaian) desa,
hal ini mengandung arti bahwa dalam mengambil keputusan, perangkat
pimpinan desa pakraman (prajuru desa) tidak semata-mata harus berpegang pada
suara terbanyak (briuk siyu),
melainkan patut meperhatikan kepatutan yang berlaku umum.
Menyelesaikan Konflik
Hukum adat memberi peluang untuk
menempuh beberapa jalan dalam menyelesaikan konflik yang melibatkan desa
pakraman. Pertama, diselesaikan sendiri oleh desa pakraman. Kedua, dimintakan bantuan pihak ketiga sebagai penengah.
Ketiga, diserahkan kepada pihak yang berwenang
(sang rumawos).
Cara paling tradisional dan mudah
dimengerti, untuk menyelesaikan konflik yang melibatkan desa pakraman adalah
diselesaikan sendiri oleh desa pakraman dan pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik tersebut. Cara ini dikatakan murah karena memang tidak membutuhkan
biaya dan waktu yang terlalu banyak. Syaratnya, masing-masing pihak yang
terlibat konflik benar-benar memahami hakikat obyek yang menjadi sumber pemicu
konflik dan masing-masing pihak juga benar-benar bermaksud menciptakan
kedamaian bersama. Masalahnya, sering kali pihak yang terlibat konflik, kurang
mengerti hakikat objeknya, sehingga yang muncul sebenarnya adalah pertarungan
gengsi. Kalau masing-masing kemudian bertahan pada gengsi dan ketidatahuannya,
maka konflik adat yang sebenarnya murah,
menjadi tidak mudah diselesaikan.
Kalau cara pertama berakhir buntu,
disebabkan karena para pihak bertahan pada keinginannya masing-masing, dapat
dipilih cara kedua, dimintakan bantuan pihak ketiga sebagai penengah. Dalam
lalu lintas hukum, cara ini dikenal dengan istilah Alternatif Dispute Resolution (ADR). Pihak ketiga yang mempunyai pengetahuan dan
pengalaman sebagai penengah menyelesaikan konflik, akan mengambil beberapa langkah awal sebelum
memberikan beberapa alternatif penyelesaian. Pertama-tama akan dijelaskan
beberapa termimologi yang berkaitan dengan penyebab munculnya konflik tersebut.
Sesudah para pihak memiliki persepsi yang sama, barulah diberikan beberapa
pilihan untuk menyelesaikannya. Pada
akhirnya yang menentukan pilihan adalah pihak-pihak yang terlibat konflik. Cara
ini memang lebih mudah dari cara pertama, tetapi tidak murah. Perlu disiapkan
sejumlah dana untuk pihak ketiga yang membantu penyelesaian konflik adat yang
dimaksud, sebagai honor atau uang jasa,
terlepas dari kenyataan apakah yang bersangkutan berhasil menyelesaikan konflik adat tersebut
atau tidak.
Cara paling murah dan relatif mudah
untuk menyelesaikan konflik yang melibatkan desa pakraman adalah dengan cara
menyerahkan kepada pihak yang berwenang (sang
rumawos). Yang dimaksud pihak berwenang dalam hal ini adalah pemerintah
Kabupaten di Bali atau pemerintah Provinsi Bali. Selanjutnya, pihak yang
berwenang akan berkoordinasi dengan orang yang ahli dan organisasi lainnya yang
memiliki kewenangan dibidang hukum adat Bali, seperti Majelis Desa Pakraman
(MDP) Bali dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dalam menyelesaikan
konflik yang dihadapi, dengan harapan lebih mudah menemukan penyelesaian yang
menyejukkan.
Cara penyelesaian konflik ini mengandung
beberapa keuntungan, antara lain: (1) Dominani desa pakraman dan banjar
pakraman dapat dikurangi, sehingga pemanfaatan suara dominan (suryak siu atau beriuk siuk),
dapat dihindari; (2) memungkinkan untuk memperluas penafsiran terhadap
awig-awig, dengan memperhatikan konteks disamping teks awig-awig; (3) dapat
mengatasi ketidakjelasan hukum acara yang selama ini ada pada awig-awig desa.
Apabila cara ketiga ini yang
dipilih, berarti segala biaya yang
diperlukan (honor, dll), dalam usaha menyelesaikan konflik yang dihadapi,
menjadi tanggungjawab pihak berwenang. Demikian pula halnya kalau pihak
berwenang merasa perlu memanggil pihak tertentu (yang dianggap ahli) untuk
memberikan bantuan, maka segala biaya yang diperlukan menjadi tanggungjawab
pihak berwenang. Itu sebabnya penyelesaian dengan cara ini dikatakan “murah”.
Pihak-pihak yang terlibat konflik
juga tidak perlu pusing memikirkan alternatif penyelesaiannya. Tugas utama yang
harus dilaksanakan adalah menyerahkan fakta, data, dan daftar keinginan. Sesudah itu, pihak yang
berwenanglah yang memikirkan penyelesaian terbaik bagi para pihak yang terlibat
konflik. Sesudah konflik
diselesaikan dan keputusan
ditetapkan, tidak ada hak bagi pihak
yang terlibat dalam konflik tersebut, untuk mendiskusikan kembali putusan yang
telah diambil. Tugas masing-masing pihak hanya satu, melaksanakan keputusan
pihak berwenang secara tulus ihlas dengan penuh tanggung jawab. Itu sebabnya penyelesaian dengan cara ini dikatakan “mudah”.
Saran
Hambatan yang biasanya dihadapi
dalam menyelesaikan konflik yang melibatkan desa apkraman antara lain: Pada
umumnya pihak yang terlibat konflik tidak memiliki sikap yang tegas, mengenai
cara mana yang akan dipilih dalam menyelesaikan konflik yang dihadapi. Apakah
mereka akan menyelesaikan sendiri, menggunakan pihak ketiga sebagai penengah
atau menyerahkan kepada pihak yang berwenang.
Selain itu, mereka juga tidak
siap menerima konsekwensi yang menyertai masing-masing cara penyelesian konflik
tersebut. Dengan kata lain, sikap mereka sebenarnya ingin menang sendiri.
Inilah yang menyebabkan konflik yang melibatkan desa pakraman menjadi tidak
murah dan tidak mudah diselesaikan, institusi manapun yang diminta untuk
menyelesaikannya.
Oleh karena itu disarankan agar
sikap ingin menang sendiri dalam menyelesaikan konflik, segera diubah menjadi
sikap ingin menang bersama. Dengan demikian diharapkan, Bali yang dulu pernah
dijuluki “The Last Paradise”, tidak berubah menjadi “The Lost Paradise”. -o0o-
Daftar Referensi
Astiti, TIP, 1997. Pemberdayaan Hakim
Perdamaian Desa dalam Menyelesaikan Kasus Adat di Luar Pengadilan. Pidato
Pengenalan Jabatan Guru Besar tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat, Fakultas
Hukum Universitas Udayana, tanggal 30 Arpil1997.
Ayatrohaedi, 1986. Keperibadian
Budaya bangsa (Local Genius). Jakarta, Pustaka Jaya.
Griadhi, I Ketut Wirta, 2005. “Konflik Adat di Bali Suatu
Studi Hukum dan Perubahan Sosial”. Tesis pada Program Studi Ilmu Hukum, Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
Powell,
Hickman, 1989. The Last Paradise .
An American’s ‘discovery’ of Bali in the 1920s. Singapure, Oxford University
Press, Oxford , New York .
Ter Haar. 1991. Azas-azas dan Susunan
Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.
Windia, Wayan P, 2000. “Kasepekang Ditengah-tengah Transformasi
Budaya. (Studi Kasus di Desa Adat Tengkulak Kaja, Gianyar,
Bali)”. Tesis pada Program S2 Kajian Budaya, Unud, Denpasar.
______________, 2008. ”Konflik Adat dan Sanksi Kasepekang
di Desa Adat Bungaya, Kabupaten Karangasem. Perspektif Kajian Budyaya”.
Disertasi pada Program S3 Kajian Budaya, Unud, Denpasar.
Hak asasi manusia merupakan hak dasar manusia sejak
lahir dan semua manusia berhak mendapatkannya termasuk para buruh, dalam
konteks ini adalah buruh yang bekerja di sektor industri atau pabrik. Sebagai salah
satu kelompok yang menggerakkan sektor perekonomian, sudah selayaknya
keberadaan buruh diperhatikan. Dalam sejarahnya buruh selalu berada dalam
posisi yang tidak menguntungkan, bahkan kerap mengalami pelanggaran HAM.
Dampak yang paling dirasakan pelanggaran HAM adalah
oleh pekerja outsourcing, meskipun
pemerintah telah mengamandement UU No.13 tentang ketenagakerjaan namun UU
tersebut hanya berlalu untuk karyawan saja. Sedangkan untuk pekerja outsourcing
seolah di anaktirikan bahkan semakin tertindas. Berikut beberapa contoh
pelangaran HAM utuk tenaga outsourcing
1.
Gaji tenaga outsourcing
di beberapa perusahaan di bedakan padahal pekerjaan dan posisi kerja sama
dengan karyawan tetap ini sudah melanggar UU No.13 Pasal 6
2. Pekerja outsourcing tidak di beri cuti di
bedakan dengan pekrja tetap yang mendapat cuti ini sudah jelas ada diskriminasi
dan melanggar
3. Seb
Saat
ini berkembang pula fenomena dalam dunia perburuhan yaitu sistem outsourcing
atau buruh kontrak yang banyak diprotes oleh banyak pihak. Sistem ini
memperbolehkan perusahaan untuk mengambil tenaga kerja melalui pihak ketiga
atau perantara.
Secara hukum, Negara Indonesia sudah melindungi
buruh dengan undang-undang yang ada, diantaranya meratifikasi konvensi dari International
Labour Organization (ILO) dan dibuatnya UU Ketenagakerjaan no. 13 tahun
2003 tetapi begitu dalam praktiknya juga harus dilihat apakah hukum Indonesia
(UU Ketenagakerjaan) telah melindungi hak asasi manusia, yang sudah selayaknya
diterima oleh buruh, terutama pada buruh yang bekerja pada sistem outsourcing?