HUKUM PIDANA
( Hubungan
Hukum pidana Dan Publik, Sifat, Melanggar )
Disusun
Oleh :
Abi Habudin
11700091
FAKULTAS ILMU HUKUM
UNIVERSITAS BOROBUDUR JAKARTA
BAB I
Hazewinkel, Suringa,
mengatakan bahwa hukum pidana termasuk
hukum publik. Pemangku iuspuniendi ialah negara sebagai
perwakilan masyarakat hukum. Adalah tugas hukum pidana untuk memungkinkan
manusia hidup bersama. Sifat hukum pidana sebagai hukum publik antara lain
dapat diketahui berdasarkan:
1.
Suatu tindak pidana
itu tetap ada, walaupun tindakannya telah mendapat persetujuan terlebih dahulu
dari korbannya;
2.
Penuntutan menurut
hukum pidana, tidak digantungkan kepada keinginan dari orang yang telah di
rugikan oleh suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang lain.
3.
Biaya penjatuhan
pidana dipikul oleh negara sedangkan pidana denda dan perampasan barang menjadi
menjadi penghasilan negara.
Hukum publik adalah
hukum yang mengatur kepentingan publik (masyarakat umum). Apabila diperinci
sifat hukum publik dalam hubungannya dengan hukum pidana, maka akan ditemukan
ciri-ciri hukum publik yaitu:
1.
Mengatur hubungan
antara kepentingan negara atau masyarakat dengan orang perseorangan;
2.
Kedudukan penguasa
negara adalah lebih tinggi dari orang perseorangan. Dengan perkataan lain orang
perseorangan disubordinasikan kepada penguasa;
3.
Penuntutan seseorang
(yang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang) tidak tergantung kepada
perseorangan (yang dirugikan), melainkan pada umumnya negara/ penguasa wajib
menuntut seseorang tersebut;
4.
Hak subjektif penguasa
ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukum pidana objektif atau hukum pidana
positif.
Menurut Wirjono
Prodjodikoro, hukum pidana dapat dinyatakan merupakan hukum publik. Hal ini
didasarkan pada hubungan hukum yang diatur dalam hukum pidana. Titik beratnya
tidak berada pada kepentingan individu, melainkan pada kepentingan-kepentingan
umum. Sifat ini dapat dilihat pada hukum pidana, yaitu dalam hal penerapan
hukum pidana pada hakekatnya tidak tergantung kepada kehendak seorang individu,
yang in concreto langsung dirugikan, melainkan
diserahkan kepada pemerintah sebagai wakil dari kepentingan umum.
Logeman, Lemaire dan
Utrecht berpendapat, bahwa hukum tidak mengadakan kaedah (norma) baru,
melainkan norma hukum pidana itu telah ada sebelumnya pada bagian hukum lainnya
dan juga sudah ada sanksinya. Hanya pada suatu tingkatan tertentu, sanksi
tersebut sudah tidak seimbang lagi, sehingga dibutuhkan sanksi yang lebih tegas
dan lebih berat yang disebut sebagai sanksi (hukuman) pidana. Alasan lainnya
ialah, bahwa justru tidak selalu penguasa wajib menuntut suatu tindak pidana
tertentu karena dipersyaratkan harus ada "pengaduan" dari pihak yang
dirugikan atau yang terkena tindak pidana, hal ini menunjukkan bahwa hukum
pidana tidak bersifat hukum publik.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Bambang
Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985). Adami Chazawi,Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2002). E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas
Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM- PTHM,
1982). P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,
(Bandung: Sinar Baru, 1984).
BAB II
SIFAT
HUKUM PIDANA
Telah
kami deskripsikan bahwa agarterciptanya tata tertib dalam kehidupan
bermasyarakat, maka haruslah peraturan-peraturan itu dipatuhi oleh
tiap-tiap orang. Tetapi karena pada zaman dahulu pun sudah banyak yang tidak
mau mematuhi hukum, maka hukum harus mempunyai suatu sifat
yang memaksa.
Dengan demikian, hukum itu mempunyai sifat mengatur dan memaksa. Hukum itu mengatur tingkah laku manusia dalam bermasyarakat. Hukum itu juga dapat memaksa tiap-tiap orang untuk mematuhi tata tertib atau peraturan dalam kemasyarakatan. Sehingga bila terdapat orang yang melanggarnya dapat dikenakan sanksi yang tegas terhadap siapapun yang tidak menaatinya.
Tetapi mungkin banyak yang bertanya-tanya, mengapa masih banyak orang yang melanggar hukum tetapi tidak dikenakan sanksi. Kami akan sedikit memberikan penjelasan mengenai hukum yang berlaku di Indonesia saat ini.
Hukum di Indonesia ini terbentuk atau ada dengan mengadopsi sebagian besar hukum Belanda. Hukum Belanda sendiri mengadopsi dari hukum di negara Perancis. Hukum Perancis menjiplak Hukum yang berlaku di zaman Romawi terdahulu. Mungkin Anda bertanya-tanya mengapa demikian. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari faktor penjajahan oleh negara lain, yakni berlakulah azas konkordasi. Azas konkordasi adalah azas yang menyatakan bahwa ketentuan perundang-undangan negara penjajah berlaku pula di negara yang dijajahnya.
Tetapi bukankah kita telah lepas dari penjajahan Belanda, mengapa kita masih mengadopsi hukum Belanda. Hal inilah yang sebenarnya menjadi tugas para ahli hukum di Indonesia. Pendapat kami sementara ini adalah hukum di Indonesia yang mengadopsi hukum Belanda adalah sebagian besar dari hukum yang ada di Indonesia. Misalnya KUHPidana, KUHPerdata dan lain-lain. Dapat dikatakan tidaklah mudah untuk mengubah suatu sistem yang berlaku begitu lama dengan waktu yang singkat. Akan tetapi kami yakin suatu saat nanti hukum yang berlaku di Indonesia seperti hukum pidana, perdata, dagang benar-benar dibuat oleh orang Indonesia sendiri.
Kembali ke pertanyaan, mengapa masih banyak para pelanggar hukum yang tidak dikenai sanksi. Kami berpendapat hal ini disebabkan oleh masih banyaknya oknum-oknum korup di balik para pelanggar hukum atau para pelaku kejahatan tersebut. Mereka sebenarnya merupakan ahli di bidang hukum yang memanfaatkan kelemahan-kelemahan hukum. Semoga saja di masa mendatang lebih banyak ahli hukum yang peduli akan hukum di Indonesia.
BAB III
MELANGGAR HUKUM PIDANA
A. Pertanggung jawaban
Dalam Hukum Perdata Dan Pidana
Apabila seseorang
dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang diantara mereka itu tidak
terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka berdasarkan undang
undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang tersebut yang
menimbulkan kerugian itu.[1]
Hal tersebut diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata, sebagai berikut :
“Tiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Menurut pasal 1365
KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah
perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya
telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga)
kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:[2]
1. Perbuatan melawan hukum
karena kesengajaan
2. Perbuatan melawan hukum
tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian)
3. Perbuatan melawan hukum
karena kelalaian
Maka model tanggung jawab
hukum adalah sebagai berikut:[3]
1. Tanggung jawab dengan unsur
kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana terdapat dalam pasal 1365
KUHPerdata.
2. Tanggung jawab dengan unsur
kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam pasal 1366 KUHPerdata.
3. Tanggung jawab mutlak (tanpa
kesalahan) sebagaimana terdapat dalam pasal 1367 KUHPerdata.
Istilah
perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad) sebelum tahun 1919 oleh Hoge
Raad diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak
orang lain yang timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang
bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena
undang-undang. Menurut ajaran yang sempit sama sekali tidak dapat dijadikan
alasan untuk menuntut ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum,
suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang sekalipun
perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh
moral atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat.
Pengertian
perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dengan adanya keputusan Hoge Raad
tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan Cohen. Hoge Raad telah
memberikan pertimbangan antara lain sebagai berikut :
“bahwa dengan perbuatan melawan hukum (onrechmatige
daad) diartikan suatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan
dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau
bertentangan, baik dengan kesusilaan baik, pergaulan hidup terhadap orang lain
atau benda, sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat dari
perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban
membayar ganti kerugian”.[4]
Dengan meninjau perumusan luas dari onrechmatige daad,
maka yang termasuk perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan :
1.
Bertentangan
dengan hak orang lain, atau
2.
Bertentangan
dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau
3.
Bertentangan
dengan kesusilaan baik, atau
4.
Bertentangan
dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai
orang lain atau benda.
Tanggung jawab atas
perbuatan melawan hukum dapat disengaja dan tidak disengaja atau karena lalai.
Hal tersebut diatur dalam pasal 1366 KUHPerdata, sebagai berikut :
“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian
yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
Tanggung jawab atas perbuatan
melawan hukum diatas merupakan tanggung jawab perbuatan melawan hukum secara
langsung , dikenal juga dikenal perbuatan melawan hukum secara tidak langsung
menurut pasal 1367 KUHPerdata :
(1) Seseorang tidak saja
bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang
menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya;
(2) Orang tua dan wali
bertanggung jawab tentang kerugian, yang disebabkan oleh anak-anak belum
dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan
orang tua atau wali;
(3) Majikan-majikan dan mereka
yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah
bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau
bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini
dipakainya;
(4) Guru-guru sekolah dan
kepala-kepala tukang bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh
murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang–orang ini berada
dibawah pengawasan mereka;
(5) Tanggung jawab yang
disebutkan diatas berakhir, jika orangtua-orangtua, wali-wali, guru-guru
sekolah dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat
mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab.
Pertanggungjawaban majikan
dalam pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata tidak hanya mengenai tanggung jawab dalam
ikatan kerja saja, termasuk kepada seorang yang di luar ikatan kerja telah
diperintahkan seorang lain untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu, asal
saja orang yang diperintahkan melakukan pekerjaan tersebut melakukan
pekerjaannya secara berdiri sendiri-sendiri baik atas pimpinannya sendiri atau
telah melakukan pekerjaan tersebut atas petunjuknya.[5] Sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 1601 a KUHPerdata, Tanggung jawaban majikan atas
perbuatan-perbuatan melawan hukum dari karyawan-karyawannya[6]:
“Persetujuan
perburuhan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si buruh,
mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si majikan,
untuk sesuatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah”
Putusan Hoge Raad tanggal 4 November 1938 mengatur pula
pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatan yang sekalipun diluar tugas
sebagaimana yang diberikan kepada bawahan, namun ada hubungannya sedemikian
rupa dengan tugas bawahan tersebut, sehingga dapat dianggap dilakukan dalam
pekerjaan untuk mana bawahan tersebut digunakan :
“Pertanggungjawaban
berdasarkan pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata dimaksudkan untuk mencakup pula
kerugian yang disebabkan oleh perbuatan yang tidak termasuk tugas yang
diberikan pada bawahan, namun ada hubungannya sedemikian rupa dengan tugas
bawahan tersebut, sehingga perbuatan tersebut dianggap dilakukan dalam
pekerjaan untuk mana bawahan tersebut digunakan”.[7]
Selain manusia sebagai subyek hukum, badan hukum (rechtspersoon)
juga merupakan subyek hukum, yaitu memiliki hak hak dan kewajiban seperti
manusia. Badan hukum dapat menjadi subyek hukum dengan memenuhi beberapa syarat
sebagai berikut:[8]
a. Jika badan
hukum tersebut memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang
perorangan yang bertindak dalam badan hukum itu;
b. Jika badan
hukum tersebut mempunyai kepentingan kepentingan yang sama dengan kepentingan
orang perorangan yaitu kepentingan sekelompok orang dengan perantara
pengurusnya.
Badan hukum dapat turut serta
dalam pergaulan hidup di masyarakat, dapat menjual atau membeli barang, dapat
sewa atau menyewakan barang, dapat tukar menukar barang, dapat menjadi majikan
dalam persetujuan perburuhan dan dapat juga dipertanggung jawabkan atas
tindakan melanggar hukum yang merugikan orang lain.[9]
Teori organ mengakui dalam badan hukum terdapat orang di samping
anggotanya, orang tersebut mempunyai kecakapan untuk bertindak dan juga memiliki
kehendaknya sendiri. Kehendak tersebut dibentuk dalam otak para anggota, akan
tetapi karena para anggota tersebut pada waktu membentuk dan mengutarakan
kehendaknya bertindak selaku organ, yakni sebagai bagian dari organisme yang
berwujud orang, maka kehendak tersebut juga merupakan kehendak dari badan
hukum.[10]
Hoge Raad menganut teori
organ dan menjadikan teori ini sebagai yurisprudensi tetap karena menurut teori
ini badan hukum dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata,
yakni bilamana organnya melakukan perbuatan melawan hukum.[11] Bilamana suatu badan
hukum dianggap sebagai benar-benar orang yang mempunyai wewenang untuk
bertindak, dengan memiliki kehendaknya sendiri, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa badan hukum tersebut harus pula dapat dianggap memenuhi unsur kesalahan
dalam melakukan perbuatan melawan hukum.[12]
Tidak semua perbuatan
organ dapat dipertanggung jawabkan
kepada badan hukum, harus ada hubungan antara
perbuatan dengan lingkungan kerja dari organ. Organ tersebut telah melakukan
perbuatannya dalam lingkungan formil dari wewenangnya. Jika organ badan hukum
bertindak untuk memenuhi tugas yang dibebankan kepadanya dan tindakan tersebut
melawan hukum maka perbuatan melawan hukum oleh organ tersebut dianggap sebagai
perbuatan melawan hukum dari badan hukum.
Dalam membicarakan
persoalan tentang organ perlu kiranya dikemukakan perihal wakil. Vollmar
mengadakan perbedaan antara organ dan wakil. Organ menurut Vollmar adalah
merupakan wakil yang bertindak untuk badan hukumnya. Di samping wakil sebagai
organ tersebut menurut Vollmar ada pula wakil yang bertindak tidak sebagai
organ. Adapun mengenai organ tersebut dapat dibedakan antara organ bukan
sebagai bawahan dan organ sebagai bawahan.[13]
Vollmar memberikan perumusan tentang organ sebagai berikut :[14]
“organ adalah
wakil yang fungsinya mempunyai sifat yang berdiri sendiri, yakni dalam arti
bahwa cara mereka harus menjalankan tugasnya dan cara mereka harus mewakili
badan hukum sepenuhnya adalah diserahkan pada mereka sendiri, sekalipun pelaksanaannya
harus dilakukannya dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, atau
peraturan dan sebagainya”.
Dengan demikian dalam kebanyakan hal badan hukum sendiri telah
melakukan perbuatan melawan hukum dan pertanggungjawabannya secara langsung
adalah berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata dan bukannya berdasarkan pasal 1367
KUHPerdata. Jika perbuatan melawan hukumnya dilakukan oleh seseorang bawahan
maka badan hukum harus bertanggung jawab berdasarkan pasal 1367 KUHperdata.
Sebagai pedoman, diberikan oleh pasal 1865 KUHPerdata bahwa :
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia
mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah
suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan
adanya hak atau peristiwa tersebut.”
B.
Pertanggungjawaban Dalam Hukum Perlindungan
Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan[15].
Konsumen dalam pengertian tersebut merupakan konsumen akhir yang umumnya lemah
dalam bidang ekonomi, pendidikan dan daya tawar. Karena itu sangat dibutuhkan
penyeimbangan daya tawar konsumen dan kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen antara lain dengan meningkatkan harkat dan
martabat konsumen dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung
jawab.
Yang menjadi
hak-hak konsumen adalah sebagai berikut[16]
a.
Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;
b.
Hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersbut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.
Hak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d.
Hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e.
Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindunga konsumen secara patut;
f.
Hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.
Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h.
Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian. Apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagimana menstinya;
i.
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan
kewajiban-kewajiban konsumen adalah sebagai berikut[17]
:
a.
Membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.
Beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.
Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.
Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Penyeimbangan daya tawar
konsumen terhadap pelaku usaha dengan tidak mengabaikan tanggung jawab pelaku
usaha, menjadi hak pelaku usaha adalah[18] :
a.
Hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai
tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.
Hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
c.
Hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
d.
Hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti bahwa kerugian konsumen tidak
diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan
kewajiban pelaku usaha adalah sebagai berikut[19]
:
a. Beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
c. Memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberikan
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
f. Memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Piranti
hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha pelaku
usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim
berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam
menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan atau jasa yang berkualitas.
Oleh karena itu pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang [20]:
a. Tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. Tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. Tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
d. Tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. Tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
f. Tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. Tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tertentu;
h. Tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label;
i. Tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j. Tidak
mencantumkan informasi dan/atau pentunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaku
usaha juga dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang
dimaksud pasal 8 ayat 1 UUPK, serta pelaku usaha dilarang memperdagangkan
sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan
atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. Pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran dalam pasal 8 ayat (1) dan (2) UUPK tersebut dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
Pelaku
usaha dilarang untuk menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah[21]
:
a. Barang
tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar
mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau
guna tertentu;
b. Barang
tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. Barang
dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau
aksesori tertentu;
d. Barang
dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan atau afiliasi;
e. Barang
dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. Barang
tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. Barang
tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. Barang
tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. Secara
langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j. Menggunakan
kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung
resiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
k. Menawarkan
sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Barang
dan/atau jasa yang dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) tersebut dilarang untuk
diperdagangkan dan pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1)
tersebut dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang
dan/atau jasa tersebut.
Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang
tidak benar atau menyesatkan mengenai[22]
:
a.
Harga
atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b.
Kegunaan
suatu barang dan/atau jasa;
c.
Kondisi,
tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d.
Tawaran
potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. Bahaya penggunaan barang
dan/atau jasa.
Pelaku usaha dalam hal
penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui
atau menyesatkan konsumen dengan[23]
:
- Menyatakan barang
dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
- Menyatakan barang
dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
- Tidak berniat menjual
barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
- Tidak menyediakan
barang dalam jumlah yang tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud
menjual barang yang lain;
- Tidak menyediakan jasa
dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual
jasa yang lain;
- Menaikan harga atau
tarif barang dan/atau jasa sebaelum melakukan obral.
Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu,
jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan
waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan[24].
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau
mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian
hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak
memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya. Pelaku
usaha dilarang untuk menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan
dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian,
dilarang untuk[25] :
a.
Tidak
melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b.
Mengumumkan
hasilnya tidak melalui media massa;
c.
Memberikan
hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d.
Mengganti
hadiah yagn tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau
cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap
konsumen[26].
Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan diatas, perlu upaya pemberdayaan
konsumen yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara intergratif dan
komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.
Oleh karena itu pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan[27].
Ganti rugi sebagimana dimaksud pada pasal 19 ayat (1) UUPK dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau
setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian ganti rugi
tersebut dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi dan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada pasal 19 ayat (1)
dan ayat (2) UUPK tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
Pengecualian adalah apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pembuktian mengenai ada
tidaknya unsur kesalahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 merupakan beban
dan tanggung jawab pelaku usaha tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan
pidana. Dimana sistem beban pembuktian yang dianut oleh UUPK adalah sistem
beban pembuktian terbalik. Ketentuan mengenai beban pembuktian terbalik, yaitu
pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi
merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Pelaku usaha yang menolak
dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas
tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen
atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Pelaku usaha yang menjual
barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan
ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila [28]:
- Pelaku usaha lain
menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang
dan/atau jasa tersebut;
- Pelaku usaha lain, di
dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang da/atau
jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh,
mutu, dan komposisi.
Pelaku usaha
sebagaimana dimaksud pada pasal 24 ayat (1) UUPK dibebaskan dari tanggung jawab
atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain
yang membelil barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan
melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya
berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib
menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi
jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan dan pelaku usaha
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila
pelaku usaha tersebut :[29]
1. Tidak
menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
2. Tidak
memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pelaku usaha yang
memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati
dan/atau diperjanjikan.
[1]AZ Nasution,
Hukum Perlindungan Konsumen, cet.2, (Jakarta: Diapit Media,
2002), hal.77.
[2]Munir Fuady, Perbuatan
Melawan Hukum, cet.1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal.3.
[3]Ibid., hal..3.
[4]M.A. Moegni
Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum,
cet.2, (Jakarta : Pradnya Paramita : 1982),
hal 25-26.
[8]Subekti, Pokok
Pokok Hukum Perdata, (Jakarta:
Intermasa, 1989), hal.21.
[9]Wirjono
Projodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung: Sumur Bandung, 1960),
hal.51.
[10]M.A. Moegni
Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, cet.2, (Jakarta : Pradnya Paramita
: 1982),
[15] Indonesia, Undang
Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No.8 tahun 1999, LN No.42 tahun
1999, ps.1 ayat 2.
pasal 8
angkat 1.