PENEGAK HUKUM DAN PENEMUAN HUKUM
Oleh Abi Habudin
Sumber gambar Google Image |
Hukum
berfungsi sevagai perlindungan kepentingan manusia . Agar kepentingan manusia
terlindungi, hokum harus di laksanakan. Pelaksanaan hokum dapat berlangsung
secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hokum.
Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataaan. Dalam menegakan
hukum ada tiga unsure yang selalu harus di perhatikan yaitu :
1.
Kepastian hukum ( Recksicherheit )
2.
Kemanfaatan ( Zweckmassigkeit )
3.
Keadilan ( Gerechtigkeit )
Hukum harus
diulaksanakan dan di tegakan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya
hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya inilah yang
harus berlaku ; pada dasarnya tidak di bolehkan menyimpang: Fiat justitio et
pereat mundus ( meskipun dunia ini runtuh hukum harus di tegakan. Itulah yang
di inginkan kepastian hukum.
Masyarakat
mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum
masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena
bertujuan ketertiban masyarakat
Sebaliknya
masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan penegakan huku. Hukum adalah
manusia maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus member manfaat atau
kegunaan bagi masyarakat. Unsur ketiga adalah keadilan. Mastarakat sangat
berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum keadilan di
perhatikan. Dalam pelaksanan atau penegakan hukum harus adil. Hukum tidak
identik dengan keadila, Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang,
bersifat menyamaratakan. Barang siapa mencuri harus di hukum : setiap orang
mencuri harus di hukum tanpa membeda – bedakan siapa yang mencuri.
Kalau dalam
menegakan hukum hanya di[erhatikan kepastian hukum saja, maka unsure – unsure
lainya di korbankan. Demikian pula kalau yang di perhatikan hanyalah
kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan di korbankan dan begitu
selanjutnya.
Dalam
menegakan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsure
itu harus mendapat perhatian secara proposional seimbang. Tetapi dalam praktek
tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proposional seimbang antara
ketiga unsure tersebut.
Tanpa
kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus di perbuatnya dan akhrinya
timbul keresahan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus
ditaati atau dilaksanakan Undang –
undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat : lex dura, sed
tamen scripta ( undang – undang itu
kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya ).
Dalam hal
terjadi pelangaran undang – undang hakim harus melaksanakan atau menegakan
undang – undang. Hakim tidak dapat menangguhkan pelaksanaan atau penegakan
undang – undang yang telah di langgar. Hakim tidak dapat dan tidak bolreh
menagguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan aalasan karena hukumannya
tidak lengkap atau tidak jelas.
PENEGAKAN HUKUM
Penegakan dan
pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum da tidak sekedar penerapan
hukum. Penemuan hukum lazimnya di artikan sebagai proses pembentukan hukum oleh
hakim atau petugas – petugas hukum lainya yang di beri tugas melaksanakan hukum
terhadap peristiwa – peristiwa hukum yang konkrit.
Sementara
orang lebih suka menggunakan “ Pembentukan Hukum “ dari pada “ Penemuan hukum “
oleh karena istilah penemuan hukum member sugesti seakan – akan hkumnya sudah
ada. Ajaran tentang penemuan hukum ini menjawab pertanyaan mengenai
interprestasi atau penafsiran atau ekstensif, penyempitan hukum dan analogi.
Penemuan
hukum terutama di lakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu
perkara. Penemuan hukum oleh hakim ini di anggap yang mempunyai wibawa. Dalam
penemuan hukum ini di kenal adanya aliran pprogresif dan aliran konserpativ
berpendapat bahwa hukum dan peradilan itu hanyalah untuk mencegah kemerosotan
moral dan nilai – nilai lain.
Apakah yang
di lakukan oleh hakim apabila ia melaksanakan atau menerapkan undang – undang?
Damalm penemuan hukum hakim dapat sepenuhnya tunduk kepada undang – undang.
Penemuan hukum ini terjadi berdarkan peraturan – peraturan di luar diri hakim.
Pembentuk undang – undang membuat peraturan umumnya, seang hakim hanya
mengkonstatir bahwa undang – undang dapat di terapkan pada peristiwanya,
kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi undang – undang. Dengan demikian
maka penemuan hukum tidak lain merupakan penerapan undang – undang yang teradi
secara logis terpaksa sebagai silogisme.
Di sini
hakim tidak menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan undang – undang
terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Hakim hanyalah corong dari undang
–undang yang tidak dapat mengubah atau menambah undang – undang. Demi kepastian
hukum, kesatuan hukum dan kebebasan warganya yang terancam oleh tindakan sewenang – wenang oleh hakim, maka
hakim harus tunduk kepada pembentuk undang – undang. Dalam pandangan ini
peradilan tidak lainhanyalah suatu bentuk silogisme. Undang – undang merupakan
premise mayor, peristiwa yang konkrit merupapkan premise minor, sedangkan
putusan hakim merupakan konklusi atau kesimpulannya. Suatu kesimpulan logis
tidak akan meliputi lebih dari apa yang terdapat dalam premise – premiss.
Demikian pula suatu putusan hakim tidak akan berisi tau meliputi lebih dari apa
yang terdapat dalam undang – undang yang berhubungan dengan peristiwa konkrit.
WIARDA
menyebut jenis penemuan hukum seperti yang di uraikan di atas sebagai
heteronom, oleh karena hakim mendasarkan pada peraturan – peraturan di luar
dirinya : hakim tidak mandiri karena harus tunduk apada undang – undang.
Sejak
kurang lebih 1850 orang condong pada peranan yang mandiri dalam pembentukan
hukum oleh hakim. Hakim bukan lagi corong dari undang – undang, tetapi
pembentuk hukum yang member bentuk pada isi undang – undang dan menyesuaikan
dengan kebutuhan – kebutuhan hukum. Dalam penemuan hukum yang Otonom ini hakim
memutus menurut apresiasi pribadi. Di sini hakim menjalankan fungsi yang
mandiri dalam penerapan undang – undang terhadap peristiwa hokum yang konkrit,
Pandangan baru ini yang oleh van EIKEMA HOMMES fi sebut pandangan yang materil
yuridis di jerman dipertahankan oleh OSKAR BULLOW dan EUGEN EHRLICH di perancis
pandangan baru ini dikembangkan olleh Francois Geny Gent menentang penyalah
gunaan cara berfikir yang abstrak logis dalam pelaksanaan hokum dan terhadapa
fiksi bahwa undang – undang berisi hokum yang verlaku. Di Amerika Oliver Weldel
Holmes dan Jerome Frank menentang pendapat bahwa hukum yang ada itu lengkap
yang dapat di jadikan sumber agi hakim untuk memutuskan dalam peristiwa yang
konkrit. Menurut pendapat ini maka pelaksanaan
undang – undang oleh hakim bukanlah semata- mata merupakan persoalan
logika dan penggunaan pikiran yang tepat saja. Tetapi lebih merupakan pemberian
bentuk yuridis kepada asas – asas hukum materil yang menurut sifatnya tidak
logis dan lebih mendasarkan pada pengalaman dan penilaian yuridis dari pada
mendasarkan pada akal yang abstrak.
Pandangan
tersebut di atas yang telah di ketengahkan oleh Etienne portalis perencanaan
code civil ( 1804 ) sekarang banyak penganutnya.
Tidak ada
batas yang tajam antara penemuan hokum yang heteronom dan otonom. Kenyataannya
di dalam praktek penemuan hokum mengandung kedua unsur tersebut : heteronom dan
otonom.
Hukum
precedent yang di anut Negara – Negara Anglo Saks adalah hasil penemuan hokum
yang otonom sepanjang pembentukan peraturan
dan penerapan peraturan di lakukan oleh hakim, tetapi sekaligus juga
bersifat heteronom, karena hakim terikat pada putusan – putusan terdahulu.
Hukum
Kontinental, termasuk hukum kita, mengenal penemuan hukum heteronom sepanjang
hakim terikat kepada undang – undang tetapi penemuan hukum ini mempunyai unsur
– unsur otonom yang kuat, kerena seringkali hukum harus menjelaskan atau
melengkapi undang – undang menurut pandangannya sendiri.
Kegiatan
hakim perdata biasanya menjadi model untuk teori – teori penemuan haukum yang
lazim. Sebabnya ialah oleh karena hakim perdata dalam penemuan hukum lebih luas
ruang geraknya dari pada hakim pidana : Pasal 1 KUHP membatasi ruang gerak hakim
pidana. Hakimperdata memiliki kebebasan yang relatif besar dalam penemuan hukum
.
Hal ini
berhubungan dengan kenyataan bahwa dahulu sebagian besar sarjana hukum
terkemuka adalah sarjana hukum perdata.
Aliran – Aliran dalam penemuan Hukum
Dalam
penemuan hukum terdapat beberapa aliran. Sebelum 1800 sebagian besar hukum
adalah hukum kebiasaan. Seperti yang telah di singgung di muka hukum kebiasaan
itu beraneka ragam dan kurang menjamin kepastian hukum. Keadaan ini menimbulkan
gagasan untuk menyatukan hukum dan menuangkan dalam sebuah kitab undang –
undang ( Codex ), maka timbulah gerakan kodifikasi. Timbulnya gerakan
kodifikasi ini di sertai timbulnya aliran legisme, yaitu aliran dalam ilmu
pengetahuan dan peradilan yang tidak mengakui Hukum di luar udang – undang.
Menurut
aliran ini hakim tidaklah menciptakan hukum. Undang – undang yang telah di
tetapkan tidak akan beruba, sedangkan manusia tidak pernah berhenti dan
perkembangan itu selalu akan menimbulkan peristiwa baru. Oleh karena itu
permasalahan – permasalahn itu di srahkan kepada kebiasaan, Para sarjana hukum
dan pendapat hakim.
Menurut von
Savigny hukum itu berdsarkan system asas – asas hukum dan pengertian dasar dari
mana untuk peristiwa dapat di terapkan kaedah yang cocok ( Begriffsjurisprudenz
). Hakim memang bebas dalam menerapkan undang – undang, tetapi ia tetap
bergerak dalam system hukum yang tertutup.
METODE PENEMUAN HUKUM
Undang –
undang sebagaimana kaedah pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan
manusia. Untuk dapat melaksanakannya undang – undang harus di ketahui orang.
Agar dapat memenuhi asas “ setiap orang di anggap tahu akan undang – undang”
maka undang – undang harus tersebar luas dan harus pula jelas. Oleh karena itu
setiap undang – undang selalu di lengkapi dengan penjelasan yang di muat dalam
Tambahan Lembaran Negara. Mungkin dengan demikian maksud pembentukan undang –
undang hendak member kebebasan yang lebih besar kepada hakim.
Tidak
mungkin undang – undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara
lengkap dan tuntas. Kerena kehidupan manusia itu tidak terbilang banyaknya.
Ketentuan undang – undang tidak dapat di terapkan begitu saja secara langsung
pada peristiwanya. Peristiwa hukumnya harus dicari lebih dahulu dari peristiwa
konkritnya, kemudian undang – undang di tafsirkan untuk dapat di terapkan.
Setiap
peraturan hukum itu bersipat abstrak dan pasif. Abstrak karena umum sifatnya
dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi
peristiwa konkrit. Bolehlah di katakana bahwa setiap ketentuan undang – undang
perlu di jelaskan, perlu ditapsikan terlebih dahulu untuk dapat di terapkan
pada peristiwanya. Interprestasi atau penapsiran meruapakan salah satu metode
penemuan hukum yang member penjelasan yang gambling mengenai teks undang –
undang agar ruang lingkup kaedah dapat di terpakan sehubungan dengan peristiwa
tertentu. Penapsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada
pelaksanaan yang dapat di terima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum
terhdap peristiwa yang konkrit. Pembenarannya terlatak pada kegunaannya pada
pelasanaan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu
sendiri. Oleh karena itu harus di kaji dengan hasil yang di peroleh.
Metode
interprestasi yang akan di bicarakan di bawah ini bukanlah merupakan metode
yang di perintahkan kepada hakim untuk di gunakan dalam penemuan hukum, tetapi
merupakan penjabaran putusan
Penyempitan Hukum
Dalam penyempitan hokum di
bnetuklah pengecualian – pengecualian atau penyimpangan – penyimpangan baru
dari peraturan – peraturan yang bersiat umum.
Di terapkan terhadap peristiwa atau
hubungan hokum yang khusus dengan penjelasan atau kontruksi dengan member cirri
–ciri.
Sebagai contoh penyempitan hokum
ialah pengertian perbuatan melawan hukum seperti yang tercantum dalam pasal
1365 BW yang luas ruang lingkupnya di persempit sehingga menjadi apa yang kita
jumpai dalam yurisprudensi antaralain putusan HR 31 januari 1919, kasus
Lindebaum lawan cohen, contoh lain misalnya ialah bahwa undang – undang tidak
menjelaskan apakah kerugian harus dig anti juga oleh yang di rugikan yang ikut
bersalah menyebabkan kerugian ( Pas 1365 BW ) teteapi yuris prudensi menetapkan
bahwa kalau da kesalahan pada yang di rugikan ini hanya dapat menuntut sebagai
dari kerugian yang di akibatkan olehnya.
Argumentum
a Contrario
Ini merupakan cara penapsiran atau
menjelaskan undang – undang yang di dasarkan pada perlawanan pengertian antara
peristiwa konkrit yang di hadapi dan peristiwa yang di atur dalam undang –
undang. Dengan mengatur peristiwa tetapi peristiwa yang mirip lainya tidak, maka
untuk yang terakhir ini berlaku hal yang kebalikannya. Di larang merokok , jadi
meludah bole. Persoalnya ialah apakah berdasarkan adanya unsure – unsure yang
sama pada dua peristiwa tersebut harus di terapkan pada peristiwa yang lainya
yang tidak di atur oleh ketentuan undang – undang tersebut atau haruslah
ketidak samaan peristiwa itu udang – undang tersbeut tidak di perlukan.
Sistem continental bertujuan
merealisir postular kesamaan dengan mengikat hakim pada undang – undang, yaitu
peraturan yang bersipat umum yang menentukan agar sekelompok peristiwa tertentu
yang sama di putus sama. Di sini hakim terikat pada jalan pikiran yang deduktip
: ia berpikir dari yang umum kepada yang khusus. Hakim harus mengkonkrestisir
peraturan dan harus mengabstrahir peristiwa. Subsumptie dan silogisme merupakan
cirri khas dari cara berpikir ini.
Pada hakekatnya analogi,
penyempitan hukum dan a contrario termasuk cara berfikir dengan
memperbandingkan. Interprestasi dan analogi tidak dapat dipisahkan secara
prinsipiil.
Penemuan
Hukum Bebas
Penemuan hukum yang di uraikan di
atas adalah penemuan hukum dengan metode interprestasi dan argumentasi yang
berpijak pada undang – undang. Dengan jalan interprestasi atau penjelasan dan
berargumentasi hakim mempersiapkan ketentuan undang – undang untuk di terapkan
terhadap peristiwanya.
Undang – undang memang harus di
hormati, Tetapi undang – undang selalu akan ketinggalan jaman, sihingga hakim
tidak harus secara mutlak mematuhinya. Dalam hal ini tidak mengikuti atau
berpijak pada undang – undang tetapi undang – undang di gunakan sebagai alat
untuk menemukan pemecahan suatu peristiwa konkrit. Penemuan hukum yang tidak
terikat erat pada undang – undang di sebut penemuan hukum bebas.
Lama – lama di rasakan perlunya
hakim do beri kebebasan. Sebaliknya ada pendapat bahwa hakim tidak boleh
sebabas itu sehingga meninggalkan undang – undang.
Pada penemuan hukum bebas undang –
undang tidak merupakan peranan utama. Undang – undang merupakan alat bantu
untuk memperoleh pemecahan yang menurut hukum tepat yang tidak perlu harus sama
dengan penyelesaian sesuai undang – undang.
Tidak mustahil penguna metode
penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang sama seperti metode –
metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara pendekatan problematic.
Seorang yang mengunakan penemuan hukum bebas tidak akan berpendirian. Saya
harus memutuskan karena bunyi undang – undang adlah demikian “ ia harus
mendasarkan pada pelbagian argument, antara lain undang – undang.
Dalam penemuan hukum bebas ini hakim
mengikuti jaman nya dan akan memperbaharui peraturan – peratura hukum yang sudah using. Sekedar untuk
mendapatkan gamabat tentang prosedur penemuan hukum di bawah ini