HUKUM PIDANA
(karakteristik,
tujuan H pidana, azas legalitas, tujuan azas legalitas, subyek
hukum )
Disusun
Oleh :
Abi Habudin
11700091
FAKULTAS ILMU HUKUM
UNIVERSITAS BOROBUDUR JAKARTA
TUJUAN HUKUM PIDANA
1.
Tujuan Hukum Pidana.
Secara umum , tujuan hukum pidana adalah melindungi masyarakat
dari perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang. Tujuan hukum pidana
terdiri :
a.
Fungsi Prefentif.
Hukum pidana memberikan rasa takut untuk melakukan perbuatan
pidana.
b.
Fungsi Represif.
Hukum pidana mendidik orang yang melakukan perbuatan pidana
supaya sadar dan menjadi orang yang baik.
2.
Tujuan Pemidanaan.
Hukum pidana memberikan sanksi atau pidana dengan tujuan untuk
melindungi masyarakat dari kejahatan . Ada 3 teori dari tujuan pmidanaan ,
yaitu :
a. Teori Pembalasan ( Teori
Absolut ) Tujuan pemidanaan yaitu membalas perbuatan pidana yang
dilakukan oleh pelaku kejahatan.
b. Tori Tujuan ( Teori Relatif ) Tujuan pemidanaan adalah :
1) Untuk mencegah terjadinya kejahatan.
2) Untuk memberikan rasa takut , sehingga orang tidak melakukan
kejahatan.
3) Memperbaiki orang yang melakukan kejahatan.
4) Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap kejahatan.
c. Teori gabungan.
d. Tujuan pemidanaan,selain disebabkan orang telah melakukan
perbuatan pidana,juga jangan sampai melakukan perbuatan pidana.
PEMBAGIAN HUKUM PIDANA.
1. Hukum Pidana Obyektif dan Pidana Subyektif.
a.Hukum Pidana Obyektif ( Ius
Poenale ).
Hukum pidana yang memuat keharusan atau larangan dengan disertai
ancaman hukuman.
b.Hukum Pidana
Subyektif ( Ius Punindi ).
Hak negara menghukum seseorang berdasarjan huku obyektif.
2.Hukum Pidana
Materiil dan Hukum Pidana Formil.
a.Hukum Pidana Materiil.
Hukum Pidana Materiil memuat aturan – aturan yang menetapkan dan
merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana.
b.Hukum Pidana Formil.
Hukum Pidana yang mengatur bagaimana negara dengan melalui alat – alat
perlengkapannya , melaksanakan haknya untuk menegakkan pidana , atau hukum
formil memuat aturan –aturan bagaimana mempertahankan berlakunya hukum pidana
materiil.
3. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus.
a)
Hukum Pidana Umum.
Hukum Pidana yang memuat aturan – aturan yang berlaku bagi setiap
orang.
b) Hukum Pidana Khusus. Hukum Pidana yang memuat aturan – aturan
yang berlaku bagi golonagn orang – orang tertentu atau berkaitan dengan jenis
perbuatan tertentu.
4.
Hukum Pidana yang
dikodifikasi dan Hukum Pidana yang tidak dikodikasi.
a. Hukum Pidana yang dikodifikasi.
Hukum Pidana yang trsusun dalam suatu buku Undang – Undang
secara sistematis dan tuntas.
b. Hukum Pidana yang tidak dikodifikasi.
Hukum Pidana yang berupa peraturan – peraturan yang tersebar
dalam berbagai perundang – undangan.
D. SUMBER HUKUM PIDANA.
KUHP merupakan sumber hukum utama dari hukum pidana. KUHP yamg
berlaku sekarang telah mndapat perubahan – perubahan penting Berdasarkan Undang
– Undang Nomor 1 Tahun 1946 . KUHP terdiri atas :
1) Buku I : Ketentuan Umum ( Pasal 1 sampai Pasal 103 )
2) Buku II : Kejahatan ( Pasal 104 sampai Pasal 569 )
3) Buku III : Pelanggaran ( Pasal 489 sampai Pasal 569 )
Sumber hukum pidana yang tertulis lainnya ialah eraturan hukum
pidana diluar KUHP , yang tidak dikodifikasikan dan tersebar dalamn berbagai
peraturan Undang –Undang , di antaranya :
1. Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Yuncto Undang – Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
2. Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Llu Lintas da
Angkutan Jalan.
E. MACAM – MACAM
PERBUATAN PIDANA.
Syarat adanya perbuatan pidana :
1) Adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang.
2) Perbuatan tersebut sudah di rumuskan di dalam Undang – Undang ,
dan bersifat melawan hukum.
3) Adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan dan adanya
kemampuan untuk bertanggungjawab.
4) Harus ada ancaman hukumnya.
5)
F. ASAS
– ASAS HUKUM PIDANA.
1. Asas Legalitas.
Artinya tiada perbuatan pidana jika tidak ada ketentuan
perundang – undangan yang telah mengatur sebelumnya.
Tujuan Asas Legalitas Adalah :
a.
Untuk mencegah
penjatuhan pidana secara sewenang – wenang.
b.
Untuk mencapai
kepastian hukum.
c.
Hukum pidana bersumber
padahukum tertulis(Pasal 5 ayat (3) b Undang – Undang Darurat Nomor 1 Tahun
1951 ).
Akibat dari asas legalitas :
a. Perundang – undangan pidana tidak boleh berlaku surut.
b. Tidak boleh digunakan penafsiran analogis dalam hukum pidana.
2. Asas Lex Temporis Delicti.
Artinya bahwa peraturan Perundang undangan mengenai perbuatan
yang dilarang dan pidananya yang dapat digunakan untuk menuntutdan menjatuhkan
pidana adalah “perundang – undangan yang ada pada waktu perbuatan tersebut
dilakukan “. Akibat dari asas tersebut adalah bahwa perundang – undangan pidana
tidak boleh berlku surut.
3.
Asas ” Tiada pidana
tanpa kesalahan “( Geen Straft Zonder Shuld ).
Artinya bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana baru dapat
dipidana , jika ada unsur kesalahan. Hal yang dapat meniadakan pidana , di
antaranya :
a. Jasmani atau rohani yang cacat.
b. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dihindarkan.
c. Untuk mempertahankan diri.
d. Menjalankan ketentuan Undang – Undang.
e. Menjalankan perintah jabatan.
Beberapa asas tentang ruang lingkup berlakunya perundang –
undangan pidana :
a. Asas Teritorial. Artinya perundang – undangan pidana Indonesia berlaku bagi
kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan di dalam wilayah kedaulatan Indonesia.
b. Asas Nasional Aktif.
Artinya
perundang – undangan pidana Indonesia berlaku bagi setiap WNI Yang melakukan
kejahatan tertentu di luar Indonesia.
c. Asas Nasional Pasif.
Artinya
perundang – undangan pidana Indonesia berlaku bagi WNI dan orang asing yang
menyerang kepntingan hukum Indonesia.
d. AsasUniversal. Artinya
perundang – undangan pidana Indonesia memberikan perlindungan kepada
kepentingan dunia internasional , baik di wilayah Indonesia sendiri , maupun di
wilayah bebas.
LEGALITAS HUKUM PIDANA
lazim disebut juga dengan terminologi “principle of legality”,
“legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite”
atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi:
“Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan
undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit
kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). P.A.F.
Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan
terminologi sebagai, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan
pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu”.(1) Andi Hamzah menterjemahkan
dengan terminologi, “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana
selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
mendahuluinya”.(2) Moeljatno menyebutkan pula bahwa, “Tiada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.(3) Oemar Seno Adji menentukan
prinsip “legality” merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia
dikemukakan oleh “Rule of Law” – konsep, maupun oleh faham “Rechtstaat”
dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”. Demikian misalnya larangan
berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective,
larangan analogi, berlakunya azas “nullum delictum” dalam Hukum Pidana,
kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip “legality”.(4) Nyoman Serikat
Putra Jaya, menyebutkan perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP mengandung makna asas lex temporis delicti, artinya
undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik
terjadi atau disebut juga asas “nonretroaktif”, artinya ada larangan berlakunya
suatu undang-undang pidana secara surut. Asas legalitas juga berkaitan dengan
larangan penerapan ex post facto criminal law dan larangan
pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive
application of criminal laws and criminal sanctions).(5)
Dikaji dari substansinya, asas legalitas dirumuskan
dalam bahasa Latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia
lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana
yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak ada
pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena sine
crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), nullum
crimen sine lege (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut
undang-undang) atau nullum crimen sine poena legali (tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya)
atau nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan
pidana tanpa ketentuan yang tegas).
Konsepsi asas ini dikemukakan oleh Paul Johan Anslem von
Feurbach (1775-1833), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam
bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801 yang
mengemukakan teori mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Paul
Johan Anslem von Feurbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana
merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana dan jikalau orang telah
mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana,
diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Akan
tetapi, menurut J.E. Sahetapy dikemukakan bahwa Samuel
von Pufendorflah yang mendahului von Feuerbach, maka Oppenheimer menganggap
bahwa “Talmudic Jurisprudence” lah yang mendahului teori von
Feurbach.(6) Bambang Poernomo menyebutkan bahwa, apa yang
dirumuskan oleh von Feurbach mengandung arti yang sangat
mendalam, yaitu dalam bahasa Latin berbunyi: “nulla poena sine lege; nulla
poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali”.(7)
Akan tetapi, walaupun asas legalitas diformulasikan dalam bahasa
Latin, ada menimbulkan kesan seolah-olah asal muasal asas ini adalah dari hukum
Romawi kuno. Aturan ini, dalam formulasi bahasa Latin, berasal dari juris
Jerman,von Feuerbach – ini berarti bahwa asas ini lahir pada awal
abad 19 dan harus dipandang sebagai produk ajaran klasik.(8) J.E. Sahetapy menyebutkan
bahwa asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin semata-mata karena bahasa
Latin merupakan bahasa ‘dunia hukum’ yang digunakan pada waktu itu.(9) Moeljatno menyebutkan
bahwa, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi
Kuno.(10) Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal
extra ordinaria, yang berarti “kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam
undang-undang”. Diantara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina
stellionatus (perbuatan durjana/jahat). Dalam sejarahnya, criminal extra
ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang yang
sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu,
timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.
Selain konteks di atas, ada juga yang berasumsi bahwa asas
legalitas berasal dari ajaran Montesquieu dalam bukunya L’Esprit
des Lois. Menurut van der Donk dan Hazewinkel
Suringa baik ajaran Montesquieu maupun Rosseaumempersiapkan
penerimaan umum terhadap asas legalitas, akan tetapi dalam ajaran kedua tokoh
tersebut tidak terdapat rumusan asas legalitas. Maksud dari pelajaran kedua
tokoh tersebut adalah melindungi individu terhadap tindakan hakim yang
sewenang-wenang, yaitu melindungi kemerdekaan pribadi individu terhadap
tuntutan tindakan yang sewenang-wenang.(11) Hans Kelsen menyebutkan dimensi asas nulla
poena sine lege, nullum crimen sine legeadalah ekspresi legal
positivism dalam hukum pidana.(12)
Dikaji dari perspektif sejarah terbentuknya asas legalitas dalam
KUHP Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht Nederland (WvS.
Ned), sebagaimana berasal dari ketentuan Pasal 8 Declaration des
Droits De L’Homme Et Du Citoyentahun 1789 yang berbunyi, “tidak ada orang yang
dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya”,
dan merupakan pandangan Lafayette dari Amerika ke Perancis dan
bersumber dari Bill of Rights Virginatahun 1776.
Apabila dianalisis lebih intens, detail dan terperinci terminologi
“ketentuan perundang-undangan (wettelijk strafbepaling)” dan
“undang-undang” maka ruang lingkup asas legalitas dalam hukum pidana materiil
lebih luas dengan terminologi “perundang-undangan” dari kata “undang-undang”
pada ketentuan hukum acara pidana. Tegasnya, asas legalitas di samping dikenal
dalam ketentuan hukum pidana materiel juga dikenal dalam ketentuan hukum acara
pidana (hukum pidana formal). Andi Hamzah kemudian lebih
lanjut menyebutkan bahwa dengan demikian, asas legalitas dalam hukum acara
pidana lebih ketat daripada dalam hukum pidana materiel, karena istilah dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP (sama dengan Belanda) “ketentuan perundang-undangan” (wettelijk
strafbepaling) sedangkan dalam hukum acara pidana disebut undang-undang
pidana. Jadi, suatu peraturan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah
dan Peraturan Daerah dapat menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tetapi
tidak boleh membuat aturan acara pidana.(13)
Hakikat ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mendeskripsikan
tentang pemberlakuan hukum pidana menurut waktu terjadinya tidak pidana (tempus
delicti). Konkritnya, untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan
agar dipidana maka ketentuan pidana tersebut harus ada terlebih dahulu diatur
sebelum perbuatan dilakukan. Francis Bacon (1561-1626),
seorang filsuf Inggris merumuskan dalam adagium moneat lex, priusquam
feriat (undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu
sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya), ini kiranya
mencakup lebih dari sekedar itu, yakni mencakup juga pembenaran atas pidana
yang dijatuhkan. Hanya jika ancaman pidana yang muncul terlebih dahulu telah
difungsikan sebagai upaya pencegahan, menghukum dapat dibenarkan.
Dalam perspektif tradisi Civil law, ada empat aspek
asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu terhadap peraturan
perundangan-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex
certa dan analogi.(14) Roelof H. Havemanmenyebutkan keempat dimensi konteks
di atas sebagai, though it might be said that not every aspect is that
strong on its own, the combination of the four aspects gives a more true
meaning to principle of legality.(15) Moeljatnomenyebutkan bahwa asas legalitas mengandung
tiga pengertian, yaitu:
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan
undang-undang.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi (kiyas).
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.(16)
Komariah Emong Sapardjaja(17) dengan bertitik
tolak pandangan Groenhuijsen menyebutkan ada empat makna yang
terkandung asal legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Pertama,
bahwa pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana
berlaku mundur. Kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang harus
dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang
menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum
tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan
hukum pidana dilarang diterapkan analogi. Polarisasi pemikiran Komariah
Emong Sapardjaja dengan bertitik tolak pandanganGroenhuijsen hakikatnya
identik dengan pendapat dari Machteld Boot dengan titik tolak
pandangan Jeschek dan Weigend yang menyebutkan empat syarat
asas legalitas. Pertama, tidak ada perbuatan pidana dan pidana
tanpa undang-undang sebelumnya (asas nullum crimen, noela poena sine lege
pravia). Kedua, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana
tanpa undang-undang tertulis (asas nullum crimen, nulla poena sine lege
scripta). Ketiga, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana
tanpa aturan undang-undang yang jelas (asas nullum crimen, nulla poena sine
lege certa). Keempat, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada
pidana tanpa undang-undang yang ketat (asas nullum crimen, noela poena sine
lege stricta). Lebih detail Machteld Boot menyebutkan
bahwa:
“The formulation of
the Gesetzlichkeitsprinzip in Article 1 StGB is generally considered to include
four separate requirements. Fist, conduct can only be punished if the
punishability as well as the acconpanying penalty had been determined before
the offence was committed (nullum crimen, noela poena sine lege praevia).
Furthermore, these determinations have to be be included in statutes (Gesetze):
nullum crimen, noela poena sine lege scripta. These statutes have to be
difinite (bestimmt): nullum crimen, noela poena sine lege certa. Lastly, these
statutes may not be applied by analogy which is reflected in the axion nullum
crimen, noela poena sine lege stricta.”(18)
JH. J. Enschede,
menyebutkan hanya ada dua makna yang terkandung dalam asas legalitas, yaitu: Pertama,
suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundang-undangan
pidana (...wil een feit strafbaar zijn, dan moet het vallen onder een
wettelijke strafbepaling...). Kedua, kekuatan ketentuan pidana
pidana tidak boleh diberlakukan surut (...zo’n strafbepaling mag geen
terugwerkende kracht hebben...).(19) Kemudian Jan Remmelink menyebutkan tiga hal
tentang makna asas legalitas. Pertama, Konsep perundang-undang yang
diandaikan ketentuan Pasal 1. Ketentuan Pasal 1 Sv (KUH Pidana
Belanda maupun Indonesia, bdgk. Pasal 3 KUHP Indonesia 1981) menetapkan bahwa
hanya perundang-undangan dalam arti formal yang dapat memberi pengaturan di
bidang pemidanaan. Kata perundang-undangan (wettelijk) dalam ketentuan
Pasal 1 menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa
pidana akan ditetapkan secara legitimate. Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa
pelbagai bentuk perundang-undangan tercakup di dalamnya, termasuk peraturan
yang dibuat oleh pemerintah daerah (tingkat provinsi maupun
kabupaten/kotamadya) dan seterusnya. Kedua, Lex Certa (undang-undang
yang dirumuskan terperinci dan cermat/nilai relatif dari ketentuan ini). Asas Lex
Certa atau bestimmtheitsgebot merupakan perumusan
ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan
ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana)
karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti
itu tidak akan berguna sebagai pedoman perilaku. Ketiga, dimensi analogi.
Asas legalitas menyimpan larangan untuk menerapkan ketentuan pidana secara
analogis (nullum crimen sine lege stricta: tiada ketentuan pidana
terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat di dalam peraturan
perundang-undangan).(20)
Lebih lanjut Von Feurbach menyebutkan makna asas
legalitas menimbulkan tiga peraturan lain. Pertama, setiap
penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum pidana (nulla
poena sine lege). Kedua, penggunaan pidana hanya mungkin
dilakukan, jika terjadi perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang
(nulla poena sine crimine). Ketiga, perbuatan yang diancam
dengan pidana yang menurut undang-undang, membawa akibat hukum bahwa pidana
yang diancamkan oleh undang-undang dijatuhkan (nullum crimen sine poena
legali).(21)Berikutnya Richard G. Singer dan Martin
R. Gardner menyebutkan asas legalitas berkorelasi dengan 3 (tiga)
dimensi, yaitu: Pertama, pemidanaan tidak dapat diberlakukan secara
retroaktif. Kedua, pembentuk undang-undang dilarang membuat hukum
yang berlaku surut. Ketiga, perbuatan pidana harus didefinisikan
oleh lembaga atau institusi yang berwenang.(22)
Pada dasarnya, perkembangan asas legalitas eksistensinya diakui
dalam KUHP Indonesia baik asas legalitas formal (Pasal 1 ayat (1) KUHP) maupun
asas legalitas materiil (Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2008).(23) Akan
tetapi,Utrecht keberatan dengan dianutnya asas legalitas di
Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana (strafwaardig)
tidak dipidana karena adanya asas tersebut serta asas legalitas menghalangi
berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan akan hidup. Lebih terperinci
maka Utrecht mengatakan bahwa:
“Terhadap azas nullum
delictum itu dapat dikemukakan beberapa keberatan. Pertama-tama dapat
dikemukakan bahwa azas nullum delictum itu kurang melindungi
kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen). Akibat azas nullum
delictum itu hanyalah dapat dihukum mereka yang melakukan suatu perbuatan
yang oleh hukum (=peraturan yang telah ada) disebut secara tegas sebagai suatu
pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu
perbuatan yang pada hakikatnya merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh
hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, tinggal tidak terhukum. Azas nullum
delictum itu menjadi suatu halangan bagi hakim pidana menghukum
seorang yang melakukan suatu perbuatan yang biarpun tidak “strafbaar”’
masih juga “strafwaardig”. Ada lagi satu alasan untuk menghapuskan pasal
1 ayat 1 KUHPidana, yaitu suatu alasan yang dikemukakan oleh terutama hakim
pidana di daerah bahwa pasal 1 ayat 1 KUH Pidana menghindarkan dijalankannya
hukum pidana adat.”(24)
Akan tetapi, walaupun demikian pada umumnya asas legalitas
tersebut menurut Andi Hamzah diterima dalam KUHP Indonesia
meskipun merupakan dilema. Lebih jauh dikatakan, bahwa:
“Menurut pendapat Andi
Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia merupakan dilemma,
karena memang dilihat dari segi yang satu seperti digambarkan oleh Utrecht tentang
hukum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat Andi Hamzah tidak
mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat pelbagai suku
bangsa, tetapi dilihat dari sudut yang lain, yaitu kepastian hukum dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan
tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas itu.
Lagipula sebagai negara berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para hakim
masih sering dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu
ditinggalkan.”(25)
Barda Nawawi Arief(26) menyebutkan bahwa perumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP
mengandung di dalamnya asas “legalitas formal”,
asas “lex certa”, dan asas “Lex Temporis Delicti” atau asas
“nonretroaktif”. Asas legalitas formal (lex scripta) dalam
tradisi civil law sebagai penghukuman harus didasarkan pada ketentuan Undang-Undang
atau hukum tertulis. Undang-Undang (statutory, law) harus mengatur
terhadap tingkah laku yang dianggap sebagai tindak pidana. Lex Certa atau bestimmtheitsgebot dimaksudkan
kebijakan legislasi dalam merumuskan undang-undang harus lengkap dan jelas tanpa
samar-samar (nullum crimen sine lege stricta). Perumusan yang tidak
jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan
menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan
dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai
pedoman perilaku. Kemudian asas nonretroaktif menentukan peraturan
perundang-undangan tentang tindak pidana tidak dapat diberlakukan surut
(retroaktif) akan tetapi harus bersifat prospectif. Oleh karena itu maka makna
asas legalitas tersebut hakikatnya terdapat paling tidak ada 4 (empat) larangan
(prohibitions) yang dapat dikembangkan asas tersebut, yaitu:
a) “nullum crimen, nulla poena sine lege scripta” (larangan
untuk memidana atas dasar hukum tidak tertulis—unwritten law--);
b) “Nullum crimen, nulla poena sine lege stricta”
(larangan untuk melakukan analogy);
c) “Nullum crimen, nulla poena sine lege praevia”
(larangan terhadap pemberlakuan hukum pidana secara surut);
d) “Nullum crimen, nulla poena sine lege certa”
(larangan terhadap perumusan hukum pidana yang tidak jelas –unclear terms-).
Ketentuan asas legalitas ini dalam Rancangan Undang-Undang (RUU)
KUHP Tahun 2008 perumusannya identik dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Ketentuan
Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008 menyebutkan asas legalitas dengan
redaksional sebagai, “Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan,
kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”.
Kemudian ketentuan asas legalitas ini lebih lanjut menurut penjelasan Pasal 1
ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008 disebutkan, bahwa:
“Ayat ini mengandung asas
legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak
pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada Undang-undang.
Dipergunakan asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok
dalam hukum pidana. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan pidana atau
yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan.
Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah
kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang
dituduh melakukan suatu tindak pidana.”
Asas legalitas konteks di atas dalam KUHP Indonesia mengacu kepada
ide dasar adanya kepastian hukum (rechtzekerheids). Akan tetapi, dalam
implementasinya maka ketentuan asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. A.
Zainal Abidin Farid menyebutkan pengecualian asas legalitas terdapat
dalam hukum transistoir (peralihan) yang mengatur tentang lingkungan kuasa
berlakunya undang-undang menurut waktu (sphere of time, tijdgebied) yang
terdapat pada pasal 1 ayat (2) KUH Pidana yang berbunyi, “bilamana
perundang-undangan diubah setelah waktu terwujudnya perbuatan pidana, maka
terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.(27)
Barda Nawawi Arief mempergunakan
terminologi melemahnya/bergesernya asas legalitas antara lain dikarenakan
sebagai berikut:
1) Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP
sendiri, yaitu dengan adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP;
2) Dalam praktik yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal
adanya ajaran sifat melawan hukum yang materiel;
3) Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam
Undang-undang Dasar Sementara 1950; Undang-undang Nomor 1 Drt 1951;
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999; dan
Konsep KUHP Baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai “nullum
delictum sine lege”, tetapi juga sebagai “nullum delictum sine ius”
atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga
legalitas materiel, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup
atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum;
4) Dalam dokumen internasional dalam KUHP negara lain juga
terlihat perkembangan/pengakuan ke arah asas legalitas materiel (lihat Pasal 15
ayat (2) International Convention on Civil and Political Right (ICCPR)
dan KUHP Kanada di atas);
5) Di beberapa KUHP negara lain (antara lain KUHP Belanda, Yunani,
Portugal) ada ketentuan mengenai “pemaafan/pengampunan hakim” (dikenal dengan
berbagai istilah, antara lain “rechterlijk pardon”, “Judicial pardon”,
“Dispensa de pena” atau “Nonimposing of penalty”) yang merupakan
bentuk “Judicial corrective to the legality principle”;
6) Ada perubahan fundamental di KUHAP Perancis pada tahun 1975
(dengan Undang-undang Nomor 75-624 tanggal 11 Juli 1975) yang menambahkan
ketentuan mengenai “pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana” (“the
declaration of guilt without imposing a penalty”);
7) Perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi
dari “cyber-crime” merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas
“lex certa”, karena dunia maya (cyber-space) bukan dunia
riel/realita/nyata/pasti.(28)
Khusus terhadap pengecualian asas legalitas ditentukan asas “lex
temporis delicti” sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Konklusi
dasar asas ini menentukan apabila terjadi perubahan
perundang-undangan maka diterapkan ketentuan yang
menguntungkan terdakwa. Jan Remmelink menyebutkan ketentuan
Pasal 1 ayat (2) memberikan jawaban dalam artian bahwa bila undang-undang yang
berlaku setelah tindak pidana ternyata lebih menguntungkan, maka pemberlakuannya
secara surut diperkenankan. Pandangan demikian diakui dan diterima di
Belgia dan Jerman. A. Zainal Abidin
Farid menyebutkan yang dimaksud dengan perubahan undang-undang dalam
pasal 1 ayat (2) KUHP apakah termasuk undang-undang pidana saja atau semua
aturan hukum maka aspek ini dapat dijawab dengan tiga teori yaitu teori
formil yang dianut oleh Simons, kemudian teori
materiil terbatas yang dikemukakan oleh van Geuns dan teori
materiil tak terbatas. Menurut teori formil maka perubahan
undang-undang baru dapat terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana
yang diubah. Perubahan undang-undang lain selain dari undang-undang pidana,
walaupun berhubungan dengan undang-undang pidana, bukanlah perubahan
undang-undang menurut pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. Kemudian menurut teori
materiil terbatas bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud harus
diartikan perubahan keyakinan hukum pembuat undang-undang. Perubahan karena
zaman atau keadaan tidak dapat dianggap sebagai perubahan undang-undang ex
pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. Teori materiil tak terbatas dimanaH.R.
dalam keputusannya tanggal 5 Desember 1921 (N.J. 1922 h. 239) yang disebut
Huurcommicciewet-arrest, berpendapat bahwa ”perundang-undangan meliputi semua
undang-undang dalam arti luas dan perubahan undang-undang meliputi semua macam
perubahan, baik perubahan perasaan hukum pembuat undang-undang menurut teori
materiil terbatas, maupun perubahan keadaan karena waktu”.
Konklusi dasar asas legalitas sebagaimana diuraikan konteks di
atas, dikaji dari prespektif karakteristiknya terdapat dimensi-dimensi sebagai
berikut:
• Tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana
menurut undang-undang.
• Tidak dapat diterapkan undang-undang pidana berdasarkan analogi.
• Tidak dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.
• Tidak boleh ada rumusan delik yang kurang jelas (asas lex
certa).
• Tidak ada ketentuan pidana diberlakukan secara surut (asas
nonretroaktif).
• Tidak ada pidana, kecuali ditentukan dalam undang-undang.
• Penuntutan pidana hanya berdasarkan ketentuan undang-undang.
Dikaji dari perspektif perbandingan hukum (comparative law)
maka asas legalitas tersebut juga dikenal dan diakui oleh beberapa negara. Pada International
Criminal Court (ICC) asas legalitas diatur khususnya pada article 22,
article 23 dan article 24. Ketentuan article 22 Nullum crimen sine lege ayat
(1) menyebutkan, “A person shall not be criminally responsible under this
Statute unless the conduct in question constitutes, at the time it takes place,
a crime within the jurisdiction of the court”, dan ayat (2) menyebutkan, “The
definition of a crime shall not be extended by analogy. In case of ambiguity.
The definition shall be intepreted in favour of the person being investigated,
prosecuted, or convicted”, dan ayat (3), “This article shll not affect
the characterization of any conduct as criminal under international law
independently of the Statute”. Kemudian article 23 berbunyi, “A person
convicted by the court may be punished only in accordance with the Statute”,
dan article 24 ayat (1) selengkapnya berbunyi bahwa, “No person shall be
criminally responsible under this Statute for conduct prior to the entry into
force of the Statute”, dan ayat (2) berbunyi bahwa, “In the event of
change in the applicable to a given case prior to a final judgment, the law
more favorable to the person being investigated or convicted shall apply”.
Kemudian dalam Pasal 9 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia
yang ditandatangani di San Jose, Costa Rica tanggal 22 November 1968 dan mulai
berlaku pada tanggal 18 Juli 1978 asas legalitas diformulasikan dengan
redaksional bahwa, “No one shall be convicted of any act or omission that
did notconstitute a criminal offence, under applicable law, at the time when it
was committed. A heavier penalty shall not be imposed than the one that was
applicable at the time the criminal offence. If subsequent to the commission of
the offense that law provides for the imposition of a lighter punishment, the
guilty person shall benefit thereform”. Berikutnya, asas legalitas juga
terdapat dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia yang diumumkan oleh Resolusi Majelis
Umum PBB 217A (III) tanggal 10 Desember 1948 dimana pada Pasal 11 ayat (2)
disebutkan asas legalitas dengan redaksional bahwa, “No one shall be had
guilty of any penal offence on account of any act or omission which did not
constitute a penal offence, under national or international law, at the time
when it was commited. Not shall a heavier by imposed than the one that was
applicable at the time the penal offence was committed”. Selain itu, asas
legalitas juga dikenal dalam Pasal 7 ayat (2) African Charter on Human and
People Rights yang ditandatangani di Nairobi, Kenya, dan berlaku pada tangal 21
Oktober 1986 yang menyebutkan bahwa, “No one may be condemmed for an act or
omission which did not constitute a legally punishable offence for which no
provision was made at the time it was committed. Punishment is personal and can
be imposed only on the offender”.
Kemudian pada KUHP Jerman yang diumumkan tanggal 13 November 1998
(Federal Law Gazette I, p. 945, p. 322) disebut Strafgesetzbuch (StGB)
pada Section 1 No Punishment Without a Law disebutkan bahwa,
“Sebuah perbuatan hanya dapat dipidana apabila telah ditetapkan oleh
undang-undang sebelum perbuatan itu dilakukan”, (An act may only be punished
if its punishability was determined by law before the act was committed). Pada
asasnya, asas legalitas ini di Jerman juga berorientasi kepada dimensi
penuntutan, sehingga menurut George P. Fletcher di Jerman
menganut “positive legality principle”.(29)
Kemudian asas legalitas ini juga dikenal di Negara Polandia. Pada
ketentuan Pasal 42 Konstitusi Republik Polandia maka asas legalitas dirumuskan
dengan redaksional, “Only a person who has commited an act
prohibited by a statute in force at the moment of commission there of, and
which is subject to a penalty, shall be geld criminally responsible. This
principle shaal not prevent punishment of any act which, at the moment of its
commission, constituted an offence within the meaning of international law”.
Berikutnya asas legalitas ini dirumuskan dalam Pasal 7 Konstitusi Perancis
dengan menyebutkan bahwa, “A person may be accused, arrested, or detained
only in the cases specified by law and in accordance with the procedures which
the law provides. Those who solicit, forward, carry out or have arbitrary
orders carried out shall be punished; however, any citizen summoned or
apprehended pursuant to law obey forhwith; by resisting, he admits his guilt”.
Kemudian dalam Pasal 25 Konstitusi Spanjol ditegaskan asas legalitas
adalah, “No one may be convicted or sentenced for actions or omissions which
when committed did not constitute a criminal offence, misdemeanour or
administrative offence under the law then in force” dan dalam Pasal 25
Konstitusi Italia asas legalitas dirumuskan sebagai, “No one shall be
punished on the basic of a law which has entered into force before the offence
has been committed”.
Selain negara-negara di atas maka asas legalitas juga dikenal
dalam Pasal 14 Konstitusi Negara Belgia sebagai, “No punishment can be made
or given except in pursuance of the law”. Kemudian Pasal 29 Konstitusi
Republik Portugal menentukan bahwa, ”No one shall be convicted under the
criminal law except for an act or omission made punishable under
exiisting law; and no one shall be subjected to a security measure, except for
reasons authorised under existing law. No sentences or security measures shall
be ordered that are not expressly provided for in existing lawas. No one shall
bee subjected to a sentence or security measure that is more severe than hose
applicable at the time the act was committed or the preparations for its
commission were made. Criminal laws that are favourable to the affender shall
aply retroactively”. Selanjutnya pada Pasal 57 Konstitusi Hongaria disebut
asas legalitas dengan redaksional sebagai, “No one shall be declared guilty
and subjected to punishment for an offense that was not a criminal offense
under Hungarian law at the time such offense was committed”.
Subjek
Hukum
•
Adalah segala
sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung (dapat memiliki) hak dan
kewajiban.
•
Yang
dapat dikategorikan sebagai Subjek Hukum adalah Manusia (Natuurlijk persoon)
dan Badan Hukum (Rechts persoon)
Subjek
Hukum Manusia (Natuurlijk Persoon)
•
Adalah
setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban.
Pada prinsipnya orang sebagai subjek hukum dimulai sejak lahir hingga meninggal
dunia. Namun ada pengecualian menurut Pasal 2 KUHPerdata, bahwa bayi yang masih
ada di dalam kandungan ibunya dianggap telah lahir dan menjadi subjek hukum
jika kepentingannya menghendaki, seperti dalam hal kewarisan. Namun, apabila
dilahirkan dalam keadaan meninggal dunia, maka menurut hukum ia dianggap tidak
pernah ada, sehingga ia bukan termasuk subjek Hukum
•
Ada juga
golongan manusia yang tidak dapat menjadi subjek hukum, karena tidak cakap
dalam melakukan perbuatan hukum (Personae miserabile) yaitu :
1. Anak yang masih dibawah umur, belum dewasa
dan belum menikah.
2. Orang yang berada dalam pengampuan (curatele)
yaitu orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros, dan Isteri yang tunduk pada
pasal 110 KUHPer, yg sudah dicabut oleh SEMA No.3/1963
Subjek Hukum Badan Hukum
(Rechtspersoon)
•
Adalah
suatu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukum dan mempunyai tujuan
tertentu. Sebagai subjek hukum, badan hukum mempunyai syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh hukum yaitu : (Teori Kekayaan bertujuan)
1. Memiliki kekayaan yg terpisah dari kekayaan
anggotanya.
2. Hak dan Kewajiban badan hukum terpisah dari
hak dan kewajiban para anggotanya.