.

Seberapa Penting Jalan-Jalan?

Oleh Sigit Adinugroho

Mendengar kata “jalan-jalan”, penilaian orang biasanya langsung mengarah ke pengertian negatif. Jalan-jalan dianggap sebagai kegiatan konsumtif, buang-buang uang dan waktu, alias kurang berguna.

Saya sendiri mulai berjalan-jalan (saya lebih suka menyebutnya perjalanan) ketika sudah memiliki penghasilan. Menggunakan dana sendiri memastikan tidak ada orang lain yang dirugikan ketika saya menjalankan minat saya yang satu ini. Sulit tentunya jika masih harus meminta orang lain, misalnya orangtua, untuk mendanai minat atau keinginan kita.


Meski sudah sering melihat lewat televisi atau media lain, mengalami sendiri situasi negara tujuan tentu memberi perspektif beda. Foto: Thinkstock


Setelah itu, baru kita memikirkan kenapa saya begitu ingin melakukan perjalanan, lebih dari membelanjakan penghasilan untuk yang lain. Berikut alasan-alasan saya:

Pengalaman konkret. Apa yang kita ketahui tentang sebuah tempat tujuan mungkin sudah pernah kita lihat di televisi atau media lain, tetapi mengalaminya sendiri di lokasi memberikan perspektif yang berbeda. Misalnya, kita tidak merasakan signifikansi perayaan Idul Fitri jika tidak merasakannya langsung: keharuan dan kebahagiaan bercampur menjadi satu.

“White Christmas” yang sering ditampilkan di film-film dan di pusat-pusat perbelanjaan di Jakarta akan terasa berbeda jika dirasakan langsung. Kenapa jamaah haji merasakan pengalaman yang luar biasa ketika berada di Mekkah atau Madinah, itu juga terkait dengan premis ini.

Konsumsi pengalaman, bukan objek. Saya harus berterimakasih pada Karim Rashid untuk kutipan satu ini. Kalaupun jalan-jalan dianggap sebagai kegiatan konsumtif, maka sebaik-baiknya konsumsi adalah pengalaman. Membeli baju, sepatu dan perangkat elektronik juga konsumsi, namun sifatnya objek. Konsumsi pengalaman punya nilai guna yang lebih panjang dari objek, tidak peduli pengalaman baik atau buruk. Pengalaman juga tidak dapat dipertukarkan, namun dapat selalu menjadi nilai jual.

Pengajaran diri. Tergantung dari bagaimana kita menyikapi sebuah perjalanan, ia dapat mengubah cara pandang menjadi lebih baik. Tidak cukup hanya membaca pengalaman orang lain, kita harus mengalaminya sendiri. Masyarakat negara maju mengalami gegar budaya ketika berada di negara berkembang: ketidakpastian jadwal, korupsi, makanan, tradisi.


Tidak semua perjalanan menyenangkan, fakta yang harus diterima dalam satu paket. Foto: Thinkstock

Masyarakat negara berkembang juga mengalami hal sama ketika mengunjungi negara maju: displin, keteraturan, individualitas. Kita belajar hidup tidak hanya dari perspektif yang dibangun oleh masyarakat tempat kita tumbuh, dan ada masalah-masalah atau logika yang baru kita ketahui setelah dialami. Setelah itu, kita jadi paham, kenapa orang lain melakukan hal-hal tertentu yang tadinya kita tidak suka.

Tentunya, setiap perjalanan tidak selalu menyenangkan, dan ini harus kita terima sebagai satu paket. Perjalanan juga bukan berarti lari dari masalah di tempat tinggal, tapi justru untuk mencari perspektif baru dalam menghadapi masalah itu.

Hidup di tempat tinggal memang nyaman, karena semua sudah terprediksi dan kita tahu bagaimana menghadapi berbagai masalahnya. Namun, sesekali coba ubahlah situasi ini dengan melakukan perjalanan lalu rasakan manfaatnya.

Jangan lupa siap membuka diri dengan apapun yang terjadi.
 

Home | Blogging Tips | Blogspot HTML | Make Money | Payment | PTC Review

ABI HABUDIN © Template Design by Abi Habudin | Publisher : Templatemu