Dikutip dari laman www.abajournal.com,
di Negeri Paman Sam, ada hasil penelitian yang menyebutkan pengacara
adalah profesi nomor dua yang paling sering kurang tidur (most
sleep-deprived). Berdasarkan data National Health Interview Survey (NHIS) yang kemudian dikaji ulang oleh Sleepy’s, sebuah perusahaan produsen kasur, profesi pengacara rata-rata hanya tidur tujuh jam per hari.
Di posisi teratas, profesi perawat dengan durasi tidur rata-rata 6 jam, 57 menit. Peringkat tiga dan seterusnya secara berurutan adalah polisi (7 jam, 1 menit); dokter dan paramedis (7 jam, 2 menit); ekonom, pekerja sosial, programmer (7 jam, 3 menit); analis keuangan (7 jam 5 menit); operator pabrik (7 jam 7 menit); sekretaris (7 jam 8 menit).
Di posisi teratas, profesi perawat dengan durasi tidur rata-rata 6 jam, 57 menit. Peringkat tiga dan seterusnya secara berurutan adalah polisi (7 jam, 1 menit); dokter dan paramedis (7 jam, 2 menit); ekonom, pekerja sosial, programmer (7 jam, 3 menit); analis keuangan (7 jam 5 menit); operator pabrik (7 jam 7 menit); sekretaris (7 jam 8 menit).
Sementara, profesi yang paling lama durasi tidurnya (most
well-rested) adalah penebang kayu di hutan (7 jam 20 menit); penata
rambut (7 jam 16 menit); staf marketing (7 jam 15 menit); bartender (7
jam 14 menit); pekerja bangunan, atlet, tukang kebun (7 jam 13 menit);
insinyur, pilot, guru (7 jam 12 menit).
Data ini diperoleh setelah NHIS melakukan wawancara terhadap sekitar
27 ribu orang dewasa. Dari hasil wawancara, lalu disusun peringkat yang
didasarkan pada dua variabel. Pertama, rata-rata durasi tidur yang
diutarakan responden. Kedua, jenis pekerjaan responden berdasarkan
kategorisasi Departemen Ketenagakerjaan.
Hasil survei yang dilakukan NHIS menuai berbagai tanggapan. Laman
abovethelaw.com, misalnya, mengaku tidak terlalu terkejut melihat hasil
survei NHIS. Melalui artikelnya,
blog khusus isu-isu hukum ini justru mempertanyakan angka “7 jam”
sebagai durasi tidur rata-rata seorang pengacara. Ekstremnya,
abovethelaw.com menyatakan, “Pengacara malas seperti apa yang masih
sempat tidur tujuh jam setiap harinya?”
Apa yang dipaparkan di atas memang terjadi di negeri nun jauh di
sana, Amerika Serikat. Meski begitu, kondisinya sepertinya tidak jauh
berbeda dengan Indonesia. Tanpa didasari survei semacam yang dilakukan
NHIS sekalipun, khalayak umum sudah mengetahui bahwa pekerjaan pengacara
memang sangat berat.
Sebagai contoh, dalam perhelatan Days of Law Career di FHUI
Depok beberapa waktu lalu, sebuah kantor pengacara ternama jelas-jelas
membeberkan bagaimana pekerjaan sehari-hari seorang pengacara. Seraya
menampilkan beberapa gambar karyawannya yang bekerja hingga larut malam
atau bahkan menginap, pendiri kantor pengacara tersebut menyatakan
profesi pengacara seringkali memang dituntut bekerja melebihi jam kerja
normal.
Dalam acara yang sama, seorang senior associate, juga dari
kantor pengacara ternama di Jakarta, mengatakan bekerja melebihi jam
kerja normal adalah hal biasa bagi profesi pengacara. “Mana ada kantor
pengacara yang bergerak di bidang corporate, yang jam kerjanya benar-benar nine to five?” ujar senior associate yang juga lulusan FHUI itu menjawab pertanyaan seorang mahasiswi.
Tapi, buru-buru si senior associate menegaskan bahwa beban
kerja yang berat tentunya berbanding lurus dengan kompensasi yang
didapat. Lagipula, lanjutnya, stres karena beban kerja yang berat tidak
akan menjadi masalah jika lingkungan kerjanya nyaman.
Jadi, dimanapun negaranya, pengacara memang lekat dengan citra
sebagai profesi dengan beban kerja dan tingkat stres tinggi. Salah satu
dampaknya adalah kurang tidur alias begadang.
Sumber : hukumonline.com